Salah satu pertanyaan penting dan menarik yang selalu diangkat dalam isu Palestina adalah; apakah terdapat indikasi persatuan di antara bangsa Arab dalam mendukung perjuangan Palestina? Terlebih, ada kutipan menarik yang intinya menyebutkan secara eksplisit keberadaan dunia Arab (Laffin, 1975),”Since 1948 it has been impossible to study the Arab world without reference of Israel. To write a book about the Arab Mind and omit any mention of the influence of Israel on that mind would be like writing a history of Britain and omitting the monarchy. The picture would be as incomplete.”
Israel yang menduduki wilayah yang dimulai semenjak tanggal 14 Mei 1948 dengan memproklamirkan berdirinya negara Israel setelah berhasil merampas sebagian wilayah milik bangsa Palestina ketika itu dapat dikatakan merupakan musuh bersama seluruh negara-negara Arab di wilayah Timur Tengah, plus Iran dan Turki. Ada sebuah tulisan lama berjudul Arab Nationalism, Unity and Solidarity yang coba melihat kesolidan bangsa Arab (Owen, 1983). Menarik untuk melihat kembali tulisan tersebut dikaitkan dengan konteks dukungan terhadap Palestina.
Nasionalisme Arab dan Persatuan Arab
Berbicara bangsa Arab, ada sebuah konsep terkenal yang sering digunakan kalangan Barat: Arabisme. Arabisme (ke-Araban) di sini adalah peradaban Arab yang ditandai dengan budaya, agama, bahasa, dan sebagainya yang membedakan bangsa Arab dengan bangsa lainnya. Arabisme ini sempat terpudarkan ketika bangsa-bangsa Arab terjatuh ke dalam masa kolonialisme. Muncul ketika itu konsep nasionalisme dalam arti sempit (wathoniyya) yang digunakan untuk menghadapi kolonialisme di setiap wilayah Arab.
Terbaginya wilayah-wilayah ini tidak terlepas dari runtuhnya Kekhalifahan Turki Ustmaniyah yang sebelumnya adalah penguasa wilayah-wilayah tersebut. Namun, setelah negara-negara Arab memperoleh kemerdekaannya, konsep nasionalisme sempit yang notabene berakar dari kebudayaan Barat dan diperkenalkan oleh dua penulis Kristen Libanon, Butros Bustani dan Nazif Yaziy, serta filsafat ideologisnya dibentuk oleh Michael Aflak, seorang Kristen Ortodoks, ternyata berpotensi memecah bangsa Arab sebagai sebuah bangsa yang satu. Masing-masing negara lebih mengutamakan kepentingan nasionalnya.
Mereka beranggapan bahwa untuk menjadi kuat, negara-negara Arab harus bersatu. Maka, mereka memelopori berdirinya Republik Persatuan Arab pada tahun 1958. Kemudian, hal ini diteruskan dengan unity talks pada tahun 1963 dengan melibatkan Irak dan Yaman Utara. Sebelumnya, pada tanggal 22 Mei 1945 tujuh negara arab juga telah memelopori berdirinya Liga Arab (Britannica, 2025). Namun, kedua upaya ini tidak berjalan dengan baik karena terbukti masing-masing negara belum bisa menempatkan kepentingan nasionalnya di bawah kepentingan bersama.
Meskipun begitu, rasa kebersamaan di antara mereka tetap ada. Hal ini karena mereka merasa mempunyai satu ancaman bersama, yaitu zionis Israel. Walaupun pendekatan yang dijalankan berbeda-beda (diplomasi, militer, dan lain sebagainya), namun pada intinya mereka berada dalam satu barisan menentang zionis Israel. Belum lagi dukungan-dukungan yang mereka berikan terhadap warga Palestina, baik secara fisik maupun moral.
Secara ekonomi, dalam hal ini pembentukan integrasi ekonomi melalui grup-grup subregional juga memberikan gambaran mengenai praktek hubungan intranegara Arab. Owen mencoba memberikan kontribusi yang penting dengan memberikan catatan mengenai empat tahap fase ekonomi yang dilalui oleh negara-negara Arab selama ini. Dalam menganalisa hal ini, ia juga mengedepankan satu asumsi penting. Ada satu asumsi mendasar yang berlaku semenjak periode awal kemerdekaan bagi negara-negara Arab, yaitu dorongan menuju kerjasama politik yang lebih besar di antara negara-negara Arab seharusnya diikuti oleh dorongan menuju penyatuan ekonomi yang lebih besar pula.
Satu hal penting yang bisa dilihat dari pola hubungan ini adalah walaupun pembentukan kerja sama ekonomi subregional tersebut untuk meningkatkan roda perekonomian masing-masing negara, namun ternyata hal ini tidak juga dapat meredakan tingginya tingkat pengedepanan kepentingan nasional setiap negara. Satu kasus yang dapat menjadi contoh adalah runtuhnya ACC (Arab Cooperation Council) yang terdiri dari Mesir, Irak, Yordania, dan Yaman Utara. Ketika Irak menginvasi Kuwait, kelompok ini mengalami keruntuhan karena tingginya tingkat intensitas politik di antara anggotanya, terutama terhadap Irak.
Melihat adanya situasi dan pola hubungan yang sangat tidak biasa di antara negara-negara Arab, walaupun mereka mengakui memiliki akar budaya yang sama, membuat Owen pada subjudul terakhir dari bahasannya mempertanyakan apakah bangsa Arab mempunyai satu tatanan (order) tertentu? Ia mengakui untuk menjawab hal tersebut tidak mudah, diperlukan analisa yang komprehensif dengan mendasarkan pada kondisi kondisi serta faktor-faktor yang berpengaruh di Timur Tengah.c
Dukungan terhadap Palestina
Owen telah mencoba menunjukkan praktek atau pola hubungan intranegara Arab. Dari sisi internal ia mengangkat faktor-faktor kearaban (arabisme) yang memang mewakili budaya masyarakat pada setiap negara arab, peran zionis Israel terutama dalam hubungannya dengan konflik Palestina-Israel, serta faktor pembentukan integrasi ekonomi melalui grup-grup subregional. Arab sampai sejauh ini menganggap Israel sebagai pihak yang harus diwaspadai, namun tidak serta merta linear dengan dukungan terhadap Palestina. Karena kearaban mereka sudah terkotak-kotak dengan kepentingan nasional masing masing.
Dari sisi eksternal, ia melihat besarnya peran dari negara-negara di luar kawasan terutama yang menyandang predikat negara superpower yang penuh dengan kepentingan politik, ditambah penyebaran kultur Barat Eropa dalam memberikan pengaruh ke dalam pola-pola interaksi di Timur Tengah, khususnya yang berkenaan dengan interaksi intranegara Arab.
Satu hal penting yang terbukti dan diperkuat oleh tulisan Owen ini, bahwa faktor Israel dilihat dari sisi manapun akan selalu terkait dengan kepentingan bangsa atau negara Arab. Terlihat bahwa faktor Israel adalah faktor penting yang mempengaruhi praktek interaksi intranegara Arab. Nasionalisme Arab dan persatuan Arab masih sangat relevan dalam konteks dukungan terhadap Palestina. Namun, jika dikaitkan dengan kesolidan mereka, faktor kepentingan nasional masing-masing khususnya dari aspek ekonomi, masih sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kesolidan mereka serta kemungkinan hubungannya dengan pelaksanaan kedua konsep itu di dalam hubungan-hubungan antarbangsa atau negara Arab lainnya.