Kecaman terhadap Hamas: Krisis Tatanan Global dan Peluang Kontribusi Dunia Islam

Oleh: Reza Noormansyah
Prodi Hubungan Internasional, Universitas Tidar

Konferensi Tingkat Tinggi PBB pada Solusi Dua Negara untuk Israel dan Palestina yang diselenggarakan di New York pada 28-30 Juni 2025 menghasilkan New York Declaration on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution. Arab Saudi, Qatar, dan Mesir, sebagai bagian dari 17 negara Co-Chairs Conference dan Co-Chairs Working Group, bersama dengan Uni Eropa dan Liga Arab, secara resmi mengecam serangan 7 Oktober oleh Hamas (United Nations, 2025). Deklarasi ini juga mendesak Hamas agar meletakkan senjata, mundur dari pemerintahan di Jalur Gaza, dan menyerahkannya kepada Otoritas Palestina, dengan dukungan internasional sebagai bagian dari implementasi solusi dua negara (Two-State Solution).

KTT yang dipimpin oleh Prancis dan Arab Saudi tersebut menandai babak baru dalam dinamika politik kawasan. Untuk pertama kalinya, negara-negara Arab mencanangkan visi Palestina tanpa Hamas salah satu aktor di jalur perlawanan (Ebrahim, 2025). Melalui deklarasi New York, Hamas diposisikan sebagai penghambat proses perdamaian.

Sikap politik tersebut mengungkap bahwa arsitektur tatanan internasional saat ini beroperasi dalam kerangka logika kekuasaan. Israel, meskipun telah berulang kali melanggar hukum internasional, termasuk melalui pembangunan pemukiman ilegal, aneksasi Al-Quds, blokade total atas Gaza, serta operasi militer yang menewaskan lebih dari 60.000 warga Palestina hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, tidak pernah mendapatkan sanksi yang berarti (Sanger, 2025) (AJLabs, n.d.).

Dalam konteks ini, kekuatan kolonial justru bisa diperlakukan sebagai mitra dalam proses perdamaian, sementara pihak yang melakukan perlawanan dapat dianggap sebagai sumber gangguan dan pemicu eskalasi konflik. Tatanan yang tengah berlangsung, termasuk institusi-institusi internasional yang secara normatif bertanggung jawab terhadap perdamaian dunia, lebih banyak berorientasi pada pemeliharaan keteraturan formal daripada pada pemenuhan prinsip keadilan substantif.

Manuver politik negara-negara Arab didorong oleh pilihan untuk menjaga kepentingan nasional yang bertumpu pada stabilitas politik, peningkatan ekonomi, dan relasi diplomatik dengan Amerika Serikat (Yossef, 2021). Sejak penandatanganan Abraham Accords pada 2020, normalisasi hubungan dengan Israel telah menjadi instrumen kebijakan luar negeri bagi sejumlah rezim guna memperoleh akses investasi, alutsista, dan legitimasi politik dari Amerika Serikat (Singer, 2021). Dalam konfigurasi ini, negara-negara Arab berperan aktif sebagai penyangga status quo, yaitu menjadi bagian dari tatanan yang meredam aspirasi perubahan.

Hamas yang menggunakan metode perlawanan dalam visi pembebasan Palestina, dipandang sebagai ancaman terhadap arsitektur politik baru Timur Tengah, dibarengi sokongan Barat terhadap rezim-rezim monarki di kawasan. Maka, mengampanyekan Two-State Solution menjadi pilihan strategis bagi negara-negara Arab, meskipun fakta menunjukkan bahwa Israel sama sekali tidak menghendakinya (United Nations, 2024). Artinya tidak akan ada perdamaian yang lahir dari gagasan solusi tersebut.

Israel telah menolak kemungkinan berdirinya negara Palestina (Al Jazeera, n.d.). Kebijakan Yahudisasi Yerusalem Timur dan pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat secara kontinyu mencerminkan realisasi proyek Eretz Israel atau Israel Raya, yang wilayahnya dicita-citakan membentang dari Sungai Eufrat sampai dengan Sungai Nil (Shahak & Chossudovsky, 2019). Agresi militer Israel ke Suriah dan Lebanon dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan tidak adanya penghormatan terhadap kedaulatan yang telah disepakati sekaligus menjadi konfirmasi lanjutan dari proyek kolonial ini (Sofos, 2025) (Holmes, 2025).

Israel, melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, juga menolak menghadiri konferensi karena menentang Two-State Solution (De Ruiter, 2025). Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon menyatakan bahwa pertemuan tersebut tidak menawarkan solusi, melainkan hanya memperdalam ilusi. Amerika Serikat juga memboikot pertemuan tersebut dengan menyebutnya sebagai forum yang tidak produktif (Magid, 2025).

Dalam konteks ini, kecaman terhadap Hamas berfungsi untuk mengisolasi kekuatan yang tidak tunduk pada desain perdamaian versi Barat. Hamas yang memilih opsi perlawanan terhadap Israel merupakan simbol resistensi. Karena itu, delegitimasi terhadap Hamas juga menjadi langkah pencegahan akan kemungkinan munculnya kekuatan politik alternatif dan kepemimpinan berbasis ide yang baru, yang dapat menantang rezim dari dalam.

Langkah politik para penguasa Arab terhadap Hamas dan dalam merespons krisis Palestina menunjukkan kecenderungan untuk memadamkan dinamika perlawanan, sekaligus menggiring isu Palestina ke dalam kerangka Two-State Solution yang selama ini tidak produktif. Pendekatan ini juga menjadi pengkondisian opini publik agar rakyat tidak berpikir melampaui diplomasi yang sudah dipetakan oleh Barat. Artinya, kehormatan, keadilan, dan harapan rakyat Palestina yang selama lebih dari tujuh dekade hidup dalam pengusiran, blokade, dan pembantaian telah menjadi opsi yang bukan prioritas.

Limitasi Tatanan Internasional

Deklarasi New York merepresentasikan praktik arsitektur politik internasional yang timpang. Desakan kepada Hamas untuk menyerahkan pemerintahan di Gaza mencerminkan logika paradoksal, bahwa tuntutan untuk perubahan juga dibebankan kepada pihak yang dijajah. Namun lebih dari itu, sikap negara-negara Arab telah mengungkap kelemahan tatanan dunia yang tersekat-sekat dan tersubordinasi sehingga gagal membangun resistensi terhadap pendiktean agenda oleh kekuatan dominan.

Dalam tatanan yang terfragmentasi, baik dunia Arab ataupun negara-negara yang mendukung Palestina tidak dapat memberikan respons yang sepadan terhadap desain politik Barat. Dunia saat ini diorganisasi dalam unit-unit politik yang terpisah. Konsekuensinya, kapasitas untuk merespons krisis lintas wilayah seperti mengenai isu Palestina menjadi terbatas, karena masing-masing negara hanya dapat bertindak dalam kerangka kepentingan nasional yang terikat pada logika survivalitas negara.

Negara dipaksa beroperasi dalam kalkulasi realis, yang menimbang setiap tindakan berdasarkan risiko dan keuntungan. Ketika negara hendak menyerukan penghentian agresi, negara tersebut segera berhadapan dengan serangkaian limitasi, seperti ketergantungan ekonomi, komitmen perjanjian multilateral, atau berbagai mekanisme tekanan politik seperti bantuan luar negeri, embargo, bahkan intervensi militer (Michael, 2025). Dalam aspek material pun, negara tidak memiliki kapasitas memadai untuk mengartikulasikan visinya, apalagi menjangkau isu yang melampaui batas teritorinya.

Di sisi lain, Amerika Serikat membangun blok dengan sekutu transatlantiknya, hingga memiliki pengaruh dalam institusi global termasuk Dewan Keamanan PBB. Di samping itu, Blok ini juga memiliki kontrol atas arus wacana melalui media sehingga mampu memengaruhi norma global, seperti klaim mengenai Hamas sebagai penyebab kehancuran dan kelaparan di Gaza (Beaumont, 2025). Pola-pola ini sekaligus menjadi penanda bahwa keadilan tidak bisa hadir tanpa kekuatan kolektif yang terintegrasi dalam sumber nilai atau ide, otoritas hukum, dan arah tujuan sebagai visi politik yang terpadu.

Potensi Kontribusi Dunia Islam

Dalam situasi negara-negara mayoritas Muslim yang terfragmentasi hingga menghadapi berbagai batasan politik, dunia Islam sebenarnya menyimpan potensi untuk mengoreksi arah tatanan global. Islam menawarkan kapasitas ide untuk merumuskan ulang relasi antara kekuasaan dan keadilan, serta didukung oleh kekuaran material seperti populasi dan sumber daya alam (Amhar, Prima, 2023).

Pertama, keadilan dalam Islam bersumber dari nilai transenden yang tidak tunduk pada relativitas konsensus politik ataupun konstruksi sosial sebagai realita intersubjektif (Muyassar, 2025). Kedua, Islam mengajarkan persatuan lintas wilayah yang tidak berhenti pada simbol keagamaan, tetapi terartikulasi dalam proyek institusional dan peradaban (Hassan, 2015). Spirit persatuan ini perlu dihidupkan kembali dalam kesadaran kolektif sehingga dapat menjadi kekuatan politik (Noormansyah et al., 2024). Ketiga, di tengah krisis tatanan dunia saat ini yang gagal menghentikan penjajahan dan genosida, dunia Islam memiliki momentum membangun platform politik, hukum, dan hubungan internasionalnya sendiri.

Dalam persoalan Palestina, dunia Islam tidak cukup berhenti pada retorika kemanusiaan, apalagi mengambil sikap politik insidental. Diperlukan reposisi sistemik melalui visi politik bersama, diplomasi proaktif, dan tekanan internasional yang berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut mensyaratkan kemauan untuk keluar dari logika status quo dan membangun visi sebagai entitas politik dunia Islam. Dengan demikian, dunia Islam dapat menjadi aktor transformasional yang mampu membentuk ulang lanskap politik global, termasuk untuk membebaskan Palestina dari proyek penjajahan yang terus difasilitasi oleh tatanan dunia saat ini.

 

Daftar Rujukan:

AJLabs. (n.d.). Israel-Gaza war in maps and charts: Live tracker. Al Jazeera. Retrieved August 1, 2025, from https://www.aljazeera.com/news/longform/2023/10/9/israel-hamas-war-in-maps-and-charts-live-tracker

Al Jazeera. (n.d.). Israel’s Knesset votes to reject Palestinian statehood. Al Jazeera. Retrieved August 1, 2025, from https://www.aljazeera.com/news/2024/7/18/israels-knesset-votes-to-reject-palestinian-statehood

Amhar, F. & Prima, E.C. (2023). Resources of Islamic Countries. Islamic Research, 6(1), 77–82.

Beaumont, P. (2025, July 25). Israel trying to deflect blame for widespread starvation in Gaza. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jul/25/israel-deflect-blame-starvation-gaza-hunger

De Ruiter, E. (2025). Top-level UN conference on Palestinian statehood postponed. Euronews. https://www.euronews.com/my-europe/2025/06/14/un-conference-on-palestinian-statehood-postponed-following-israeli-strikes-on-iran

Ebrahim, N. (2025, July 30). Arab states call on Hamas to disarm and relinquish power in unprecedented move. CNN. https://www.cnn.com/2025/07/30/middleeast/arab-league-hamas-gaza-israel-intl

Hassan, D. (2015). Unity of Muslim Ummah, It’s Need, Importance and Suggestions (SSRN Scholarly Paper No. 2800517). Social Science Research Network. https://papers.ssrn.com/abstract=2800517

Holmes, O. (2025, July 15). Israel launches bombing raids in Syria and Lebanon. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jul/15/israel-attacks-syrian-military-amid-deadly-clashes-between-druze-and-bedouin-clans

Magid, J. (2025, July 28). Dozens of countries attend UN confab on two-states boycotted by US and Israel. The Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/dozens-of-countries-attend-un-confab-on-two-states-boycotted-by-us-and-israel/

Michael, C. (2025, July 31). Trump threatens Canada on trade deal after Carney moves to recognise Palestine. The Guardian. https://www.theguardian.com/world/2025/jul/31/trump-canada-trade-deal-carney-palestinian-statehood

Muyassar, Y. R. (2025). THE CONCEPT OF DIVINE JUSTICE IN ISLAMIC INHERITANCE LAW (A Transcendental Comparative Analysis of Indonesia and Brunei Darussalam). MASLAHAH (Jurnal Hukum Islam Dan Perbankan Syariah), 16(1), Article 1. https://doi.org/10.33558/maslahah.v16i1.10917

Noormansyah, R., Nabiha, K. N., Fany, A. S., Ulhasanah, N., & Hanifah, A. (2024). From Gaza to Unity of The Ummah: Uncovering Potential of The Geopolitics of Ummah. Islamic Research, 7(2), 178–203.

Sanger, A. (2025). INHERENT ILLEGALITY: ISRAEL’S PRESENCE IN OCCUPIED PALESTINIAN TERRITORY VIOLATES FUNDAMENTAL RULES OF INTERNATIONAL LAW. The Cambridge Law Journal, 84(1), 1–6. https://doi.org/10.1017/S0008197325000212

Shahak, I., & Chossudovsky, M. (2019). Greater Israel: The Zionist Plan for the Middle East. URL: Https://Www. Globalresearch. ca/Greater-Israel-the-Zionist-Plan-for-Themiddle-East/5324815. https://robscholtemuseum.nl/wp-content/uploads/2022/09/Global-Research-Greater-Israel-The-Zionist-Plan-for-the-Middle-East.pdf

Singer, J. (2021). The Abraham Accords: Normalization Agreements Signed by Israel with the U.A.E., Bahrain, Sudan, and Morocco. International Legal Materials, 60(3), 448–463. https://doi.org/10.1017/ilm.2021.18

Sofos, S. A. (2025, July 30). Israel’s attack on Syria: Protecting the Druze minority or a regional power play? The Conversation. http://theconversation.com/israels-attack-on-syria-protecting-the-druze-minority-or-a-regional-power-play-261648

United Nations. (2024, January 23). Rejection of two-State solution by Israeli leadership “unacceptable”, says Guterres | UN News. https://news.un.org/en/story/2024/01/1145807

United Nations. (2025, July 30). With Gaza smouldering, ministers renew push for two-State solution at UN | UN News. https://news.un.org/en/story/2025/07/1165536

Yossef, A. (2021). The regional impact of the Abraham Accords. Modern War Institute, 20(2), 1–17.

 

 

Tentang Penulis

Leave a Reply