Islam Sebagai Agama Hijau

Penulis: Ica Wulansari

Pemerhati isu lingkungan hidup dan pengajar di beberapa universitas swasta di Jakarta

Penyunting: M. Qobidl ‘A. Arif

 

Isu lingkungan hidup merupakan isu penting terkait dengan persoalan kemanusiaan dan peradaban umat manusia. Kerusakan lingkungan hidup mengalami laju yang cepat seiring dengan dorongan pembangunan. Dalam pembangunan, pertumbuhan ekonomi dianggap sebagai indikator kesuksesan sebuah negara, seolah konsep pembangunan berbentuk modernisasi dianggap secara universal sebagai bentuk pembangunan yang ideal. Namun pada praktiknya, keharusan peningkatan investasi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi mengakibatkan laju pertumbuhan industri meningkat. Dampak buruk dari pengejaran pertumbuhan ekonomi tersebut adalah eksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

Universalisasi Ajaran Islam Terkait Lingkungan Hidup

Kerusakan lingkungan hidup berkaitan dengan pemahaman bahwa alam memberikan anugerah untuk dirambah demi pengejaran kebutuhan ekonomi. Sebenarnya tidak ada yang salah dari pemahaman tersebut, apalagi konstitusi mendukung seperti dinyatakan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Maka, alam dianggap dalam perspektif ekonomi sebagai ‘barang bebas’. Kategori barang bebas adalah tidak memiliki nilai ekonomis dan tidak perlu pengorbanan untuk mendapatkannya sehingga hasil alam dianggap sebagai objek eksploitasi. Namun, produk alam seperti air hingga bahan bakar fosil tidak lagi menjadi barang bebas karena telah menjadi komoditas ekonomis. Bagaimana dengan udara? Saat ini masih menjadi barang bebas. Namun, bagaimana apabila pencemaran udara akut terjadi? Bisa saja di masa depan, udara tidak lagi menjadi barang bebas karena untuk mendapatkan udara bersih kita harus membayar mahal.

Selain itu, paham yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup adalah paham antroposentris yang kering dari spiritualitas. Antroposentris menganggap manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia (Keraf, 2010). Pemahaman seperti itu jelas mendorong laju kerusakan lingkungan hidup semakin cepat.

Dalam ajaran Islam, Allah Subhanahu Wata’ala menempatkan manusia sebagai penjaga bumi, wakil (khalifah) Allah di dunia. Sebagaimana termaktub dalam Surat Al Baqarah ayat 30;

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ  قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ  قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Apabila nilai-nilai Islam diterima secara universal, maka terdapat pengharagaan terhadap lingkungan hidup sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.

Isu lingkungan hidup merupakan problematika nilai dan moral. Apabila kerusakan lingkungan semakin merajalela, maka hal itu mengindikasikan terjadinya degradasi akhlak manusia. Nilai-nilai Al Quran mengenai penghargaan terhadap lingkungan hidup tidak populer seiring dengan perilaku umat Islam yang tidak lagi berpegang pada ketetapan Allah. Maka, perlu upaya untuk mengangkat ajaran agama Islam sebagai solusi problematika lingkungan hidup karena nilai-nilai universal yang selama ini dianut masyarakat internasional masih minim dari pemikiran maupun gerakan-gerakan yang diinisiasi umat Islam.

Fenomena Gerakan Green Deen

Aplikasi akhlak lingkungan hidup menurut Islam diterapkan oleh sekelompok Muslim di Amerika Serikat yang membuat gerakan Green Deen (agama hijau) sebagai gerakan lingkungan hidup bagi Muslim. Saat ini tengah dikembangkan menjadi gerakan lingkungan hidup Islam. Green Deen merupakan pemikiran Ibrahim Abdul Matin, seorang yang berkewarganegaraan Amerika Serikat dan menulis buku berjudul “Green Deen: What Islam teaches about Protecting the Planet” pada tahun 2010. Dalam buku ini, Abdul Matin menuliskan prinsip-prinsip Green Deen, seperti: 1) Memahami keesaan Tuhan dan ciptaan-Nya (Tauhid); 2) Melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di mana saja; 3) Menjadi penjaga (khalifah) di bumi; 4) Menjaga kepercayaan Tuhan (amanah); 5) Berjuang menegakkan keadilan (`adl); 6) Menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam (mizan).

Matin menawarkan hal-hal sederhana menyangkut kehidupan sehari-hari. Dalam pemikirannya, menghargai alam sama dengan mengagumi dan mensyukuri kebesaran Allah Subhanahu Wata’ala. Persoalan konsumsi yang berlebihan, jaringan listrik, air, hingga pangan yang halal termasuk hal-hal yang dipikirkan oleh Matin. Penghijauan masjid menjadi semacam gerakan untuk membangun kesadaran umat Islam agar bertindak ramah lingkungan hidup. Saat ini terdapat beberapa contoh gerakan penghijauan masjid. Di Inggris, Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu ekologi dan lingkungan menerapkan istilah masjid lingkungan (eco-mosque). Di Abu Dhabi, sekelompok mahasiswa merancang masjid dengan mengambil tenaga listrik dari panel surya. Di Singapura, sebuah masjid didesain dengan ‘dinding hijau’ berupa tanaman merambat. Sementara di Indonesia, terdapat masjid Al Irsyad di kota Bandung yang diklaim sebagai masjid ramah lingkungan. Masjid Al Irsyad yang berbentuk kubah ini merupakan karya arsitektur Ridwan Kamil, Walikota Bandung. Masjid Al Irsyad diklaim ramah lingkungan karena tidak menggunakan pendingin ruangan dan tidak perlu menggunakan lampu di siang hari akibat tata pencahayaannya yang sudah cukup baik. Masjid Al Irsyad dapat menjadi contoh kategori bangunan religi yang ramah lingkungan. Apabila semakin banyak bangunan masjid yang ramah lingkungan, maka konsep hijau pun akan semakin mendapat perhatian.

Di lain pihak, pemahaman sederhana mengenai lingkungan hidup perlu ditumbuhkan. Konsumerisme telah mendorong tingginya penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan pemanasan global. Masyarakat juga masih harus diberikan penyadaran mengenai pentingnya menjaga kebersihan. Slogan ‘kebersihan sebagian dari Iman’ perlu terus dikampanyekan agar umat Islam tidak hanya mengaplikasikan ajarannya sebatas ritual belaka, melainkan menjadi bagian dari solusi problematika kehidupan dan bangunan peradaban yang Islami. Oleh karena itu, penyadaran lingkungan hidup perlu mendapatkan perhatian dari kalangan ulama, cendekiawan Muslim, maupun masyarakat. Ulama perlu memberikan syi’ar yang mendorong perubahan perilaku untuk menjaga lingkungan hidup. Penyadaran mengenai perbuatan dosa perlu dijelaskan pula dengan ilustrasi yang lebih nyata. Misalnya, perilaku membuang sampah sembarangan berakibat berkurangnya keindahan dan terjadinya banjir yang akan menyusahkan banyak orang. Berlebihan dalam menggunakan energi fosil akan berakibat terjadinya pemanasan global. Masyarakat perlu disadarkan untuk bijak menggunakan air dengan mengingat bahwa masih banyak orang-orang yang kesulitan mendapatkan sumber air. Selain itu, perlu kampanye mengenai Islam sebagai Agama Hijau. Dengan demikian, Islam tidak hanya dipandang secara sempit, namun ia hadir untuk menciptakan peradaban dunia yang lebih baik dan sebagai solusi untuk segenap umat manusia, rahmatan lil ‘alamin.

Leave a Reply