Respon Nahdlatul Ulama terhadap Gagasan Politik Islam Radikal di Indonesia

[box] Penulis: Hasbi Aswar, S.IP., M.A. (Prodi. Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Yogyakarta) [/box]

 

Abstract

This paper aims to explain the role of Nahdlahtul Ulama in Indonesia in countering the arguments and propagandas of pro-Islamic State or radical movements in Indonesia. Nahdlatul Ulama is one of most prominent islamic organizations in Indonesia which has million followers. It has very big role in the process of Indonesian politics since pre-independence era until now and Nahdlatul Ulama has moderate thinking on the relation between Islam and state where NU acknowledge the concept of nationalism and democracy in Indonesia. The rise of pro-Islamic State Movements in Indonesia with rejecting the concept of nationalism and democracy automatically become an important issue to Nahdlatul Ulama. In this paper, NU by its leaders, and its scholars shows its position either individually or institutionally to reject the idea that is brought by the pro-Islamic State.

Keywords: Caliphate, Nahdlatul Ulama, Islamic Radicalism

Pengantar

Agenda dan pembicaraan mengenai radikalisme dan kontra radikalisme saat ini bukan hanya melibatkan organisasi level dunia ataupun urusan antar negara, tapi juga melibatkan masyarakat sipil. Negara memang memiliki kekuatan fisik untuk menghancurkan gerakan-gerakan radikal tapi itu saja tidak cukup. Pendekatan persuasif, kemudian pendampingan sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan ide-ide radikal dan menangkal pengaruh ide-ide tersebut di tengah-tengah masyarakat. Yang mampu untuk melakukan pendampingan dan pendekatan persuasif ini adalah kelompok masyarakat sipil atau organisasi masyarakat.

Di level internasional, pelibatan jaringan masyarakat sipil atau NGOs dalam kontraradikalisme dan kontraterorisme telah dipraktekkan oleh Amerika Serikat seperti yang tertuang dalam laporan penelitian Rand Corporation (2004), US Foreign Policy after 9/11 bahwa untuk membendung gerakan radikal Islam Amerika mendukung pembentukan jaringan Civil Islam baik liberal maupun moderat dalam proses pengembangan pendidikan dan aktifitas-aktifitas kultural. Dalam desain kebijakan kontraradikalisme  Indonesia juga memasukkan pendekatan soft measure dengan melibatkan kerjasama antar institusi, dan seluruh komponen masyarakat (bnpt.go.id)

Dalam artikel ini, pembahasan yang akan diangkat adalah peran ormas Nahdlatul Ulama (NU) sebagai salah satu NGOs dalam memerangi gagasan radikalisme politik Islam di Indonesia. Pembahasan mengenai peran NU di sini berfokus pada counter opini atau propaganda terhadap pemikiran-pemikiran politik Islam radikal.

Politik Islam Radikal di Indonesia

Istilah radikalisme, fundamentalisme, islamisme, revivalisme Islam dan Politik Islam merupakan istilah yang sering digunakan secara bergantian untuk menyebutkan sebuah fenomena gerakan Islam yang memiliki visi Islam tertentu. Menurut Esposito (2002:59), terminologi Fundamentalisme ini diterapkan dalam spektrum yang luas berkaitan dengan gerakan-gerakan atau aktor-aktor Islam yang memiliki visi untuk mengembalikan visi Islam yang puritan seperti yang pernah terjadi di masa lalu (romanticized past) atau gerakan yang memperjuangkan reformasi modern yang berakar dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam. Angel Rabasa (2004:5) mengggambarkan fundamentalisme Islam sebagai usaha sebagian kalangan muslim untuk mengikuti keyakinan agamanya secara asasi atau fundamental dan menginginkan untuk mengembalikan makna keberagamaan secara radikal.

Menurut Tibi (2012: 1-2), hal yang paling esensial dari islamism adalah bahwa gerakan ini bukanlah gerakan keagamaan dan memperjuangkan keimanan tapi Islamism adalah gerakan politik yang dia istilahkan dengan (religionized politics). Religionized politics bermakna sebagai sebuah proses untuk memperjuangkan sebuah tata kehidupan politik (political order) yang diyakini bersumber atau terpancar dari kehendak Allah dan bukan dari kedaulatan rakyat. Gerakan Islamis ini menurut Tibi memiliki ideologi yang menjadikan agama (din) dan negara (dawlah) dalam tata politik yang berlandaskan syariah dan memiliki lingkup global yaitu sebuah sistem kekuasaan global. Tibi mengeritik penyebutan gerakan Islamis dengan menggunakan istilah Islam Radikal, Islam Moderat, revivalisme Islam, jihadis & Islamis. Pembagian tersebut menurutnya adalah hal yang menyesatkan karena esensinya semua jenis gerakan tersebut memiliki visi dan agenda politik yang sama meskipun caranya berlainan menggunakan kekerasan atau tidak.

Rabasa (2004: 7-9) memberikan beberapa kriteria bagi para penganut radikalisme antara lain: Islam sebagai agenda politik untuk menegakkan khilafah, Pan-Islamic Caliphate, menolak konsep HAM dan kebebasan individu,  cenderung bertindak fisik dan koersif dalam menyebarkan pemahaman.   

Di Indonesia, keberadaaan gerakan dan visi politik Islam telah ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kemunculannya dipengaruhi oleh konteks bertumbuhnya sentimen kebangsaan dan sentimen anti penjajah di era kekuasaan Hindia Belanda. Salah satu ikon perjuangan politik Islam saat itu adalah Sarikat Islam di tahun-tahun awal abad 20 yang muncul untuk melawan kebijakan diskriminatif penjajah Belanda baik di bidang ekonomi maupun sosial (Hadiz, 2010:13).

Visi politik Islam juga telah ditunjukkan oleh tokoh-tokoh Islam yang ikut memperjuangkan dan merumuskan konsep-konsep dasar Negara Republik Indonesia. Kalangan yang pro terhadap negara Islam ini (Islamis) berkeinginan untuk menjadikan Islam sebagai landasan dan konstitusi negara namun berseberangan dengan kelompok nasionalis yang menginginkan Indonesia berdasarkan atas nasionalisme saja dengan menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.  Salah satu peristiwa penting gerakan politik Islam di Indonesia adalah pemberontakan gerakan Darul Islam yang mencita-citakan pendirian Negara Islam Indonesia yang berlangsung cukup lama antara tahun 1948-1962. Pemberontakan gerakan ini menyebar di Aceh, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

Di era tahun 1945-1957, ikon perjuangan politik Islam saat itu adalah Masyumi, Majelis Syura Muslim Indonesia, tempat berkumpulnya ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia baik dari kalangan tradisionalis dan modernis. Masyumi memiliki cita-cita untuk menjadikan Indonesia berlandaskan hukum Islam. Organisasi ini pernah menduduki posisi yang penting dalam pemerintahan Indonesia. Pernah menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia, dan beberapa kali memimpin kabinet di era Soekarno. Peran Masyumi menjadi berkurang saat Soekarno semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Tahun 1960, Soekarno membubarkan Masyumi.

Kondisi politik Islam juga dimarjinalkan di era Soeharto, Era Orde Baru, dengan alasan kecurigaan terhadap politik Islam yang bisa berpotensi menjadi ancaman terhadap Pancasila. Sikap ini membawa Soeharto membuat kebijakan yang ketat terhadap politik Islam termasuk mengakui hanya satu partai yang membawa aspirasi umat Islam yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan) termasuk kebijakan asas tunggal yang memaksa semua kelompok dan partai mengakui dan memperjuangkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dan melarang selainnya (Lee, 2004: 93-94).

Di era reformasi, suara-suara yang meneriakkan penegakan syariat Islam dan pengembalian piagam jakarta, kelompok-kelompok yang diera Soeharto tidak memiliki panggung untuk menyuarakan aspirasinya, setelah reformasi, menjadi terbuka lebar. Muncullah nama-nama kelompok Islam seperti, Dewan Dakwah Islam, DDII Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Laskar Jihad, Forum Komunikasi Ahlusunnah Wa al Jamaah, (FKAWJ), Front Pembela Islam, Jamaah Ikhwan al-Muslimin Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia (Azra, 2005:15). Kelompok-kelompok ini dikenal sangat tegas terhadap perjuangan penerapan syariat Islam di Indonesia, anti terhadap berbagai produk-produk pemikiran dari barat termasuk demokrasi, dan HAM, termasuk sangat kritis terhadap kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah dan negara-negara muslim lainnya.

NU versus Dakwah Politik Islam Radikal

Pasca orde baru, gerakan-gerakan yang ingin menegakkan Negara Islam ikut meramaikan pergerakan Islam di Indonesia bahkan, menurut Rubaidi (2010),  opini gerakan-gerakan tersebut cenderung mendominasi dan mengalahkan gerakan Islam seperti NU dan Muhammadiah. Akhmad Sahal, Wakil Ketua Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika-Kanada, mengungkapkan kekhawatiran yang sama dialami Rubaidi,  Menurut Sahal, Suara NU dan Muhammadiah tak lagi tampak sebagai pemain utama dan malah cenderung terdesak oleh berbagai organisasi lain dalam percaturan wacana keislaman menurut Sahal. Bahkan gaung gerakan seperti HTI dan FPI cenderung lebih keras dibanding kedua organisasi besar yang ada di Indonesia (Ginanjar, 2015). NU jelas tidak tinggal diam,  para petinggi dan ulama NU secara tegas di berbagai kegiatan menyatakan sikap penolakan NU terhadap gerakan-gerakan tersebut bahkan, dari berbagai pertemuan pimpinan dan ulama NU, isu yang menjadi pembicaraan penting adalah penolakan mereka terhadap perjuangan negara Islam atau khilafah serta mengajak untuk mempertahankan dan membela NKRI.

Penolakan NU terhadap sistem negara Islam dan Khilafah Islamiyah sebenarnya telah banyak didiskusikan oleh KH. Abdurrahman Wahid, atau Gusdur. Pendirian tegas Gusdur terhadap ide formalisasi negara Islam yang menurutnya absurd dan ahistoris. Gusdur lebih menyetujui Islam sebagai bagian dari kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Ketaatan seorang hamba tidak diukur apakah dia menerapkan negara Islam atau bukan tapi ketaatannya secara individual kepada tuhannya.

Dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita (2011), Abdurrahman Wahid menegaskan, Islam tidak pernah mengajarkan untuk mendirikan negara tertentu, atau sistem negara Islam. Pendirian negara Islam menurutnya hanya akan akan menjadikan warga non-muslim sebagai warga kelas dua yang akan tersingkirkan. Serta akan berdampak pada warga muslim yang abangan/nominal yang jelas berbeda derajat keislamannya dengan kaum santri. Yang dibutuhkan oleh umat Islam yaitu menjadikan Islam menjadi bagian dari pengamalan kehidupan sehari-hari seperti tauhid, pengamalan rukun islam, menolong sesama manusia, profesional dalam pekerjaan termasuk bersabar dalam setiap musibah dan cobaan yang terjadi. Jika semua nilai diatas sudah terlaksana, menurut Wahid, sistem Islam tidak dibutuhkan lagi,  bahkan ketaatan seorang muslim tidak diukur  dari perwujudan sistem atau negara Islam  (Wahid, 2011: 4-5).

Lagipula, dalam pandangan Wahid, dalam sejarah Islam tidak ada sistem tunggal yang sifatnya tetap tunggal seperti, teknis pengangkatan pemimpin yang tidak tetap dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab, ke Utsman bin Affan dan ke Ali bin Abi Thalib kemudian penguasa-penguasa setelahnya. Begitu juga, ukuran masyarakat Islam sifatnya yang beragam. Di era Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar, masyarakat Islam berwujud sebagai sebuah komunitas, kemudian berubah menjadi imperium di era Umar, menjadi negara bangsa di era kolonialisme hingga kini dst. Keragaman tersebut, menurut wahid,

Pemahaman Gusdur ini juga sama dengan pemimpin-pemimpin NU setelahnya, seperti K.H Hasyim Muzadi, ketua umum  PBNU 1999-2010, dan juga K.H Said Aqil Siradj yang juga sama menolak formalisasi syariat Islam dalam bentuk negara khilafah.

Muzadi berpendapat, ideologi para pejuang Khilafah secara jelas mengancam NKRI, Pancasila dan UUD karena ide ini tidak berasal dari tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Sementara para pejuang ini ketika berada di sebuah negara hanyalah menjadi mengganggu ketenangan bernegara karena hanya mengajak mendelegitimasi dan mendekonstruksi negara yang sudah mapan dan berdaulat.  (muslimmedianews.com, 2014; NU Online, 2007a).  Muzadi menganggap terjadi kesalahan penafsiran bagi kalangan pejuang Khilafah mengenai pemahaman Islam Kaffah. Gerakan pro-khilafah berkeyakinan Islam Kaffah itu bermakna harus mendirikan pemerintahan Islam padahal, menurut Muzadi, Islam kaffah itu memang wajib tapi tidak tidak perlu melalui pemerintahan Islam. “Ber-Islam dengan sungguh-sungguh tak harus dengan Khilafah Islamiyah. Mengakui dan taat pada pemerintahan yang sah dan berdaulat adalah wajib” ((NU Online, 2007b).

Dalam pandangan Said Aqil Siradj,  ketua PBNU 2010 – sekarang, Negara khilafah bukanlah solusi terhadap persoalan bangsa.  Konsep negara Indonesia menurutnya jauh lebih baik dibandingkan negara-negara Islam lain termasuk negara Islam di Timur Tengah. Sebab Indonesia saat  ini dengan komitmen amanah keagamaan dan komitmen kebangsaan membuatnya tak mudah untuk dipecah belah oleh pihak lain kebalikan dengan negara-negara Islam Timur Tengah yang akhirnya justru hancur karena tidak memperhatikan komitmen kebangsaan. Bila Indonesia berubah menjadi konsep khilafah, Siradj mengkhawatirkan Indonesia akan hancur (islaminesia, 2015).

Seandainya pun Khilafah itu harus diadopsi maka haruslah khilafah yang bersinergi dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme, dalam istilah Siradj, Khilafah Nasionalisme. Intinya dalam pandangan Siradj, Pancasila dan NKRI adalah harga mati, sehingga tidak boleh ada ide yang bertentangan dengan konsep yang sudah final tersebut. Konsep nasionalisme di Indonesia pun merupakan sebuah konsep yang sudah sempurna untuk sebuah negara atau kekhalifahan yang sangat plural dengan berbagai keragaman agama, suku dan budaya (qiblat.net, 2014). Siradj menyatakan, karena kepemimpinan nasional Indonesia sudah khilafah, Joko Widodo yang berkuasa saat ini juga sudah layak untuk disebut sebagai khalifah sebagai perwakilan sah umat Islam yang ada di Indonesia, (news.firmadani, 2014).

Pendapat Aqil Siradj sejalan dengan Muzadi dan Gusdur yang menganggap ide Khilafah yang bersifat internasional tidak logis dan rasional sebab secara historis nabi tidak pernah mendirikan negara Islam justru, nabi membuat piagam madinah sebagai kesepakatan yang menjadi dasar hukum yang mengatur hubungan antar warga yang berbeda suku, ras dan agamanya supaya bisa hidup rukun dan harmonis. Sepeninggal rasul pun tidak ditemukan model pemerintahan yang sifatnya baku, umat Islam pernah dipimpin dalam sistem khilafah, Imarah bahkan kesultanan yang jumlahnya cukup banyak dan kebanyakan menurut Siradj, dalam pemerintahan Islam yang pernah terjadi banyak pertumpahan darah sesama muslim sendiri.  Sehingga yang lebih penting menurut Siradj adalah adalah pemimpin jujur adil, dan melayani masyarakat dengan baik (NU Online. 2007c).

Kritik secara metodologis kajian khilafah yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir di Indonesia dilakukan oleh Ainur Rofiq al-Amin, Pimred majalah Nahdlah PCNU Jombang dan Pengurus LTN-NU Jombang, dan Muhammad Idrus Ramli, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail NU Kencong, Jawa Timur.

Idrus Ramli menulis khusus dua buku terkait Hizbut Tahrir yaitu Hizbut Tahrir dalam sorotan (2011) dan Jurus Ampuh Membungkam HTI (2012). Idrus Ramli menolak perjuangan Khilafah Islamiah dilandasi dengan beberapa argumen (Ramli, 2013) :

Pertama, kepemimpinan yang diwajibkan oleh Islam bermakna umum dan tidak mesti bernama khilafah. Kedua, Kewajiban umat Islam mengangkat seorang pemimpin tunggal yang memimpin seluruh umat Islam di dunia hanya berlaku ketika umat Islam mampu dan memungkinkan untuk melaksanakan itu, jika tidak mampu maka kewajiban tersebut gugur. Argumen ini mengacu pada pendapat Abu Amr al-Dani, dalam al-Risalah al-Wafiyah. Yang wajib untuk mengangkat seorang pemimpin tunggal seandainya memungkinkan hanyalah ahlul halli wal-`aqdi dan para tokoh yang layak jadi pemimpin umat, selain dua tersebut tidak diwajibkan. Jadi ketika tidak ada pemimpin tunggal maka yang berdosa hanya dua kalangan. Ketiga, mengutip pendapat dari imam al-Haramain al-Juwaini (1028-1085 M), bahwa ulama tidak melarang untuk membentuk sebuah kepemimpinan di level lokal jika dalam lingkup pemimpin global tidak bisa terpenuhi. Keempat, bahwa era kekhilafahan itu hanyalah berusia 30 tahun sebagaimana hadits nabi yang menerangkan, kekhilafahan itu usianya hanya 30 tahun setelah itu adalah kerajaan (HR Ahmad dan al-Tirmidzi).

Kelima, disaat umat Islam tidak memiliki seorang khalifah, rasul tidak memerintahkan untuk berjuang dan berpartisipasi dalam menegakkan seorang khalifah bahkan rasul mengajak untuk menjauhi kelompok-kelompok yang mengajak pada perpecahan. Pernyataan Ramli ini dilandasi oleh sebuah dalil dari Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh al-bukhari dan muslim. Hadits ini bercerita tentang suatu kondisi umat Islam di suatu masa di mana akan muncul kelompok-kelompok yang mengajak kepada keburukan dan mereka juga bagian dari kaum muslimin. Nabi memerintahkan untuk tidak mengikuti mereka dan tetap dalam jamaah kaum muslim dan pemimpinnya, jika tidak ada jamaah dan imam maka, diperintahkan untuk tidak mengikuti satu aliran pun.

Sementara Ainur Rofiq al-Amin, secara khusus dalam disertasi doktornya yang ditulis dalam buku, Mombongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Indonesia, 2012, mendiskusikan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir tentang khilafah dan menuliskan bantahan-bantahannya.

Dalam salah satu artikelnya, al-Amin, mengajak warga NU untuk membentengi diri dari HTI melalui warisan pemahaman yang diwariskan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Abdul Wahhab Hasbullah dalam pidato di Parlemen tahun 1954 yang berjudul “Walijjul Amri Bissjaukah” menyampaikan pandangannya mengenai keabsahan kepemimpinan negara Indonesia saat itu di bawah Soekarno. Hasbullah menyatakan bahwa mengangkat seorang imam a`dhom itu adalah wajib bagi seluruh kaum muslim di seluruh dunia sebagaimana yang telah dipahami oleh para ulama ahlusunnah wal jamaah namun, yang berhak dipilih hanyalah yang memiliki kualitas seorang mujtahid, sementara yang memiliki kemampuan tersebut sudah tidak ada sejak 700 tahun lalu hingga sekarang. Karena sudah tidak ada lagi yang memenuhi kualifikasi tersebut maka, umat islam harus mengangkat imam daruri, pemimpin darurat di masing-masing negara.

Dari pidato Wahhab Hasbullah ini, al-Amin menyimpulkan bahwa Khilafah sudah tidak mungkin lagi diterapkan karena tidak ada lagi yang memiliki kualitas yang berhak untuk menduduki kursi kekhilafahan, bahkan sejak 700 tahun lalu, kedua, Presiden NKRI sah secara hukum Islam, dengan status imam daruri dan yang ketiga, Wahab Hasbullah tidak pernah mencita-citakan untuk menegakkan khilafah (al-Amin, 2015).

Amin juga mengeritik konsep khilafah yang ditawarkan oleh Hizbut Tahrir yang dianggap berpotensi otoriter karena tidak pembagian kekuasaan dan usia kepemimpinan seorang khalifah tidak dibatasi atau seumur hidup. Hizbut Tahrir juga dianggap hanya memperlihatkan sisi positif sejarah khilafah tapi tidak jujur memperlihatkan sisi negatif dalam kekhilafahan yaitu hampir seluruh sejarah khilafah pergantian pemimpin dilakukan dengan penunjukan putra mahkota. Ditambah lagi sejarah khilafah yang penuh dengan berbagai pelanggaran dan pertumpahan daraah. Intinya, al-Amin berpendapat Islam tidak menetapkan sistem negara apapun, sehingga NKRI juga sah secara Islam dan telah diakui oleh para ulama di Indonesia. Menurut al-Amin mengganti NKRI dengan khilafah adalah buang-buang energi. Yang dibutuhkan umat sekarang adalah mengisi NKRI dengan nilai-nilai yang ideal bukan malah mendekontruksi karena hanya akan menghasilkan konflik dan perpecahan.

“Maka NKRI kalau ditarik dalam konteks ushul fiqih, sudah merupakan ijma’ ulama Indonesia, tentu sungguh tidak elok bila mau diganti dengan khilafah. Energi kita nanti akan habis untuk hal tersebut. Kita tidak mau mengulang lagi sejarah piagam Jakarta hingga Dekrit Presiden tahun 1959, dan mereproduksi kembali DI/TII.

Akan sangat bijaksana bila umat Islam semua rakyat Indonesia dengan ragam pemikiran dan keyakinannya untuk mengisi NKRI dengan nilai-nilai yang mereka idealkan, bukan malah mendekonstruksi. Cara dekonstruksi selain tidak benar, juga political cost yang harus dikeluarkan sangat mahal, outputnya hanya friksi-friksi tajam yang kontra-produktif dan destruktif”. (al-Amin, 2013).

Respon terhadap konsep Khilafah dan NKRI secara institusional dibahas oleh ulama-ulama NU dalam Musyawarah Alim Ulama pada 1-2 November 2014. Dalam pembahasan mengenai khilafah, kesepakatan musyawarah tersebut adalah khilafah sudah kehilangan relevansinya di era negara bangsa saat ini, Islam hanya mewajibkan berdirinya sebuah negara tapi tidak menetapkan secara baku sebuah bentuk negara Islam dan mewajibkannya. Yang terpenting adalah negara apapun sah, termasuk NKRI, yang penting bisa menjamin kebutuhan pokok warganya.  Sehingga, umat Islam di Indonesia hanya wajib untuk memperjuangkan dan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia.  Berikut kutipan lengkapnya (nu.or.id, 2014):

  1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar (mabadi` asasiyyah). Islam telah memberikan panduan (guidance) yang cukup bagi umatnya.
  2. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan para ulama terkemuka, antara lain:
  3. Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` ‘Ulum al-Din:

الدين والملك توأمان، فالدين أصل والسلطان حارس، فما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع

“Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan

1. Syaikh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah: 

إن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، إذ لا قيام للدين إلا بها

Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (dalam sebuah pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara

2. Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.

3. Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.

4. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat mejemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama. Sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan memperkuat keutuhan NKRI. Oleh karena itu, setiap jalan dan upaya munculnya gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan mafsadah yang besar dan perpecahan umat.

5. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam adagium yang populer di kalangan para ulama dikatakan:

العبرة بالجوهر لا بالمظهر
 Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah
العبرة بالمسمى لا بالإسم
 Yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi nama, bukan nama itu sendiri” Dengan demikian, memperjuangkan tagaknya nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara—apapun nama negara itu, Islam atau bukan—jauh lebih penting daripada memperjuangkan tegaknya simbol-simbol negara Islam.

Sikap NU terhadap gerakan politik Islam Radikal dan komitmen kebangsaan dan keindonesiaannya membuat lembaga ini menjadi salah satu mitra potensial pemerintah dalam menjaga spirit muslim Indonesia yang moderat. NU telah bekerjasama dengan berbagai lembaga tinggi negara dari berbagai aspek untuk membentengi masyarakat Indonesia dari gagasan-gagasan politik Islam radikal seperti, kerjasama dengan BNPT, kementerian pendidikan dan kebudayaan, termasuk kementerian pemuda dan olahraga.

Dilihat dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan baik oleh tokoh maupun petinggi-petinggi NU, pendirian NU tidak berubah dan tetap menjadikan NKRI sebagai sesuatu yang final dan sudah islami. Masuknya wacana-wacana Islam yang diperkenalkan oleh kelompok-kelompok pejuang negara Islam atau Khilafah seperti Hizbut Tahrir secara otomatis direspon berlawanan oleh NU. Gerakan politik Islam radikal dianggap oleh NU sebagai duri yang bisa mengancam finalitas NKRI sebagai hasil perjuangan umat Islam.

Kesimpulan

Organisasi Nahdlatul Ulama menjadi bagian penting dalam membendung pemikiran politik Islam radikal di Indonesia. NU merupakan organisasi Islam moderat terbesar bukan hanya di Indonesia namun, seluruh dunia. Dalam berbangsa dan bernegara NU telah memperlihatkan sikapnya terhadap NKRI, Pancasila dan UUD 1945. Dalam pandangan NU, bangsa dan negara Indonesia sudah final karena sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa termasuk para ulama. Indonesia adalah hasil perjuangan masyarakat muslim di Indonesia sehingga harus dipertahankan. Sementara ideologi-ideologi baru, seperti negara Islam & Khilafah Islamiah, dalam pandangan NU adalah ancaman bagi NKRI.

Khilafah bukanlah sebuah kewajiban agama dalam pemahaman NU dan Islam tidak pernah mewajibkan umatnya untuk bernegara Islam karena memang Islam tidak mewariskan negara. Sehingga, yang paling penting dalam pandangan NU adalah mendirikan negara yang bisa menaungi dan mengayomi seluruh masyarakat islam serta mampu memenuhi kebutuhan pokok seluruh warganya.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. (2005). Islam In Southeast Asia:Tolerance and Radicalism. Paper Presented at Miegunyah Public Lecture, The University of Melbourne, Wednesday 6 April

Esposito, John L. (2002). What Everyone Needs to Know About Islam. Oxford University Press. New York

Hadiz, Vedi R. (2010). Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia. Crise Working Paper No. 74, February.

Rabasa, Angel. (2004). Overview. Dalam Rabasa, Angel M, et.al. The Muslim World After 9/11. (hal. 05-40) Rand Corporation. Santa Monica

Rand Project Air Force. (2004). U.S. Strategy in the Muslim World After 9/11: Research Brief. Rand Corporation. California

Rubaidi. A.  (2010). Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama: Masa Depan Moderatism Islam di Indonesia. Logung Pustaka. Yogyakarta

Tibi, Bassam. (2012). Islamism and Islam. London: Yale University Press

Wahid, Abdurrahman. (2011). Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokrasi. Edisi Digital. Jakarta. Democracy project

Al-Amin, Ainur Rofiq. (2015). Kiai Wahab, NU Dan Khilafah: Sebuah Koreksi. http://www.muktamarnu.com/kiai-wahab-nu-dan-khilafah-sebuah-koreksi.html, Diakses 15/12/2015

Al-Amin, Ainur Rofiq . (2013). Muktamar Khilafah HTI, Penyimpangannya, dan NKRI. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,45181-lang,id-c,kolom-t,Muktamar+Khilafah+HTI++Penyimpangannya++dan+NKRI-.phpx, Diakses 17/12/2015

Ginanjar, Ging.  (2015). NU dan Muhammadiyah terdesak HTI,FPI,MUI?.

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/08/150802_indonesia_muktamar_nu_muhammadyah, Diakses 15/12/2015

islaminesia. (2015). KH. Said Aqil: ‘Negara Khilafah’ Bukan Solusi Persoalan Bangsa. http://islaminesia.com/2015/05/kh-said-aqil-negara-khilafah-bukan-solusi-persoalan-bangsa/?fb_comment_id=836527473088368_836649116409537, Diakses 15/12/2015

Muslimmedianews. (2014). Pandangan KH. Hasyim Muzadi terhadap Gerakan Khilafah. http://www.muslimedianews.com/2014/03/pandangan-kh-hasyim-muzadi-terhadap.html, Diakses 15/12/2015

News.firmadani. (2014). Ketua PBNU Said Aqil: Jokowi Adalah Khalifah Indonesia. http://news.fimadani.com/read/2014/11/04/ketua-pbnu-said-aqil-jokowi-adalah-khilafah-indonesia/, Diakses 15/12/2015

NU Online. (2007). Silakan Khilafah, Jangan Bawa Nama NU. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9829-lang,id-c,warta-t,Silakan+Khilafah++Jangan+Bawa+Nama+NU-.phpx, Diakses 15/12/2015

NU Online. (2007). PBNU: Konsep Khilafah Islamiyah Tidak Pernah Jelas. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9731-lang,id-c,warta-t,PBNU++Konsep+Khilafah+Islamiyah+Tidak+Pernah+Jelas-.phpx, Diakses 15/12/2015

NU Online. (2007). PBNU: Khilafah Islamiyah Celakakan Muslim Minoritas di Negara Lain. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,1-id,9577-lang,id-c,warta-t,PBNU++Khilafah+Islamiyah+Celakakan+Muslim+Minoritas+di+Negara+Lain-.phpx, Diakses 15/12/2015

Qathrunnada. (2014). Said Aqil: Tolak Negara Khilafah Kecuali Khilafah Nasionalis!. http://www.kiblat.net/2014/11/05/said-aqil-tolak-negara-khilafah-kecuali-khilafah-nasionalis/, Diakses 15/12/2015

Ramli, Muhammad Idrus. (2013). Wajibkah Memperjuangkan Khilafah?.  http://www.idrusramli.com/2013/wajibkah-memperjuangkan-khilafah/, Diakses 15/12/2015

Siroj, Said Aqil. 2012.Pidato Ketua Umum Pbnu Pada Peringatan Hari Lahir Pancasila: Menegakkan Kembali Pancasila. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,38234-lang,id-c,taushiyah-t,Menegakkan+Kembali+Pancasila-.phpx, Diakses 15/12/2015

 

Artikel telah dimuat dalam “Thaqafiyyat: Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam” diterbitkan oleh Faculty of Adab and Cultural Sciences UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta , Vol. 17, No. 1, 2016.

 

[author] [author_image timthumb=’on’]http://insiera.org/wp-content/uploads/2016/05/Hasbi-e1466205601435.jpg[/author_image] [author_info]Hasbi berasal dari Makassar, menempuh pendidikan Strata 1 dari Universitas Hassanuddin Makassar dan Strata 2 dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini ia berprofesi sebagai staf edukatif pada Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Minat risetnya pada politik dan gerakan sosial di dunia Islam.[/author_info] [/author]

2 thoughts on “Respon Nahdlatul Ulama terhadap Gagasan Politik Islam Radikal di Indonesia”

Leave a Reply