Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota terpilih New York segera melahirkan dua narasi ekstrem di kalangan publik Muslim dan warganet. Di satu sisi, ada yang memandangnya sebagai “kemenangan Islam” di jantung kapitalisme global karena ia adalah seorang Muslim yang kini memimpin kota paling berpengaruh di Amerika Serikat. Di sisi lain, ada pula yang memandang peristiwa ini sebagai sandiwara atau rekayasa Zionisme global yang sengaja dirancang untuk menjinakkan kemarahan atas tragedi Gaza dan menipu umat Islam.
Kedua pandangan ini sama-sama menarik secara emosional, tetapi keduanya memiliki sedikit landasan empiris dan mengabaikan kerumitan medan politik Amerika kontemporer. Penelitian tentang polarisasi dan kekerasan politik di Amerika justru menunjukkan bahwa negeri itu tengah mengalami krisis internal yang dalam, dengan polarisasi afektif yang meningkat dan kepercayaan yang menurun terhadap institusi demokrasi (Ferreira da Silva & Garzia, 2024; Kleinfeld, 2023; Reiljan et al., 2024). Dalam situasi seperti itu, kemenangan seorang politisi muda berusia 34 tahun, Muslim, keturunan Asia Selatan dan Afrika, yang berhaluan democratic-socialist di kota sebesar New York lebih tepat dipahami sebagai ekspresi dari krisis dan pertarungan kekuatan di dalam negeri Amerika sendiri, bukan sebagai kemenangan blok identitas tertentu (Weber, 2025). Dari titik tolak inilah tulisan ini berupaya mengajak pembaca untuk membaca kemenangan Mamdani menggunakan kacamata krisis internal dan politik kelas, bukan semata berdasar euforia identitas atau paranoia konspiratif.
Secara faktual, Zohran Mamdani adalah anggota New York State Assembly dari Queens yang terpilih menjadi wali kota ke-111 New York City pada pemilu 2025 dengan perolehan suara sekitar 50 persen, mengalahkan Andrew Cuomo yang maju sebagai kandidat independen dan Curtis Sliwa dari Partai Republik (Gabbatt, 2025; Pilkington, 2025). Platform kampanyenya menonjolkan isu keterjangkauan hidup melalui pembekuan sewa, pembangunan hunian terjangkau, transportasi bus gratis, pajak lebih tinggi untuk orang kaya, dan program penitipan anak universal yang dibiayai dengan redistribusi fiskal (Greene, 2025; NYC, 2025).
Kampanye tersebut bertumpu pada donasi kecil, mobilisasi puluhan ribu relawan, serta dukungan jaringan progresif seperti Democratic Socialists of America dan figur nasional seperti Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez. Di tengah serangan Islamofobia, tudingan “komunis,” dan kritik keras terhadap sikapnya yang pro-Palestina, kemenangan Mamdani dianggap banyak pengamat sebagai capaian penting bagi gerakan kiri progresif di Amerika yang selama ini dipandang marjinal (Mahdawi, 2025; Weber, 2025). Namun demikian, kemenangan tersebut tidak otomatis mengubah orientasi kebijakan luar negeri Amerika, tidak serta-merta menggeser hegemoni kapital finansial, dan juga tidak menjadikan New York sebagai “kota Islam” dalam pengertian hukum maupun institusi. Pertanyaan yang lebih relevan bukanlah apakah “umat Islam” menang atau kalah di New York, melainkan kekuatan sosial apa yang memampukan seorang Muslim progresif untuk memenangkan jabatan eksekutif di kota global yang sangat terpolarisasi itu.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tulisan ini akan terlebih dahulu memotret sosok Mamdani dan jejaring politiknya, kemudian menelusuri konteks krisis dalam negeri Amerika, mengkritik dua narasi ekstrem yang beredar, dan akhirnya menarik implikasi bagi cara umat Islam membaca politik global.
Siapa Zohran Mamdani dan Apa yang Ia Wakili?
Zohran Kwame Mamdani lahir di Kampala, Uganda, pada 1991 dari keluarga diaspora India yang telah lama berkiprah di Afrika, sehingga sejak awal hidupnya ditandai oleh persilangan pengalaman kolonial dan pascakolonial (Mamdani, 1996).
Ayahnya, Mahmood Mamdani, dikenal sebagai salah satu ilmuwan politik dan sejarawan paling berpengaruh dalam kajian Afrika dan pascakolonialisme, sedangkan ibunya, Mira Nair, merupakan sutradara film internasional yang banyak mengangkat tema identitas, migrasi, dan ketidakadilan sosial (Mamdani, 1996; Nair, 2002). Masa kecil Mamdani dihabiskan berpindah antara Uganda dan Afrika Selatan sebelum keluarga tersebut akhirnya bermukim di New York, sehingga ia tumbuh dengan kesadaran kuat akan rasisme struktural dan warisan kolonial di tiga benua. Di New York, ia menempuh pendidikan di Bronx High School of Science dan kemudian mengambil studi Africana di Bowdoin College, sebuah kombinasi yang menempatkannya dalam tradisi intelektual antikolonial serta gerakan hak sipil kulit hitam dan diaspora Afrika (Greene, 2025). Selepas kuliah, ia bekerja sebagai konselor perumahan di Queens, mendampingi keluarga kelas pekerja yang menghadapi ancaman penggusuran karena lonjakan sewa dan spekulasi properti, sementara di sisi lain ia juga aktif dalam komunitas seni dan musik independen. Pengalaman langsung berhadapan dengan krisis perumahan dan ketimpangan kota tersebut kemudian membentuk sensibilitas politik Mamdani yang berorientasi pada keadilan sosial, perlindungan bagi penyewa, dan kritik terhadap kekuasaan korporasi real estat (Pilkington, 2025). Dengan demikian, identitasnya sebagai Muslim keturunan India yang lahir di Afrika dan besar di New York bukan sekadar label etnis-religius, melainkan bagian dari biografi Global Selatan yang sarat pengalaman penindasan dan perlawanan.
Karier politik elektoral Mamdani dimulai ketika ia mencalonkan diri untuk kursi New York State Assembly distrik 36 pada 2020 dan berhasil mengalahkan petahana lima periode dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat melalui kampanye akar rumput yang intensif (Press, 2025). Dalam kampanye tersebut, ia didukung oleh jaringan Activist Housing, organisasi komunitas imigran, dan Democratic Socialists of America, menjadikannya bagian dari gelombang kandidat kiri progresif yang mulai menantang dominasi sayap tengah Partai Demokrat. Sebagai anggota majelis, ia dikenal vokal memperjuangkan program bus gratis skala uji coba kecil, dukungan keuangan untuk pengemudi taksi yang terlilit utang, serta regulasi perumahan yang lebih melindungi penyewa dari pengusiran sewenang-wenang (Greene, 2025; NYC, 2025). Pada tahun 2024, momentum tersebut dibawa ke level kota ketika ia mengumumkan pencalonan sebagai wali kota New York dengan slogan yang menekankan kebutuhan untuk “menurunkan biaya hidup” bagi warga biasa, khususnya terkait sewa, transportasi, dan layanan dasar (Gabbatt, 2025). Platform resmi kampanyenya merinci rencana pembekuan sewa, pembangunan 200.000 unit hunian terjangkau, penyediaan bus gratis, pendirian toko bahan makanan milik kota di wilayah Food Deserts, serta kenaikan upah minimum menjadi 30 dolar AS per jam pada 2030 yang dibiayai dengan pajak lebih tinggi bagi korporasi dan individu super-kaya (Greene, 2025; NYC, 2025).
Kemenangan Mamdani pada pemilu 2025 dengan lebih dari 50 persen suara melawan Cuomo dan Sliwa menjadikan dirinya wali kota Muslim dan Asia Selatan pertama di New York serta ikon baru bagi gerakan kiri progresif Amerika (Gabbatt, 2025; Pilkington, 2025). Sosok yang ia wakili, karenanya, bukan hanya “Islam” sebagai identitas, melainkan kombinasi Muslim progresif, politisi kelas pekerja, dan anak diaspora Global Selatan yang menantang konfigurasi lama kekuasaan di kota global tersebut.
Kemenangan dari Krisis dalam Negeri Amerika
Untuk memahami kemenangan Mamdani, kita perlu terlebih dahulu menempatkannya dalam konteks krisis demokrasi dan polarisasi yang sedang melanda Amerika Serikat. Dalam laporan komprehensifnya, Rachel Kleinfeld menunjukkan bahwa polarisasi di Amerika kini tidak hanya menyangkut perbedaan kebijakan, melainkan polarisasi afektif, yakni kebencian emosional terhadap partai dan pendukung lawan yang berpotensi memicu kekerasan politik (Kleinfeld, 2023). Studi Andres Reiljan dan kolega yang membandingkan berbagai demokrasi menemukan bahwa tingkat polarisasi afektif di Amerika—baik terhadap partai maupun pemimpin—termasuk yang tertinggi di dunia dan sangat dipengaruhi oleh karakter presidensialisme serta kinerja pemerintahan (Reiljan et al., 2024). Sementara itu, penelitian Frederico Ferreira da Silva dan Diego Garzia menunjukkan bahwa polarisasi afektif yang kuat mendorong partisipasi pemilih, namun sekaligus memperkuat logika politik “kawan vs lawan” yang sulit direkonsiliasi melalui kompromi parlementer biasa (Ferreira da Silva & Garzia, 2024). Pada saat yang sama, krisis biaya hidup, ketimpangan pendapatan, dan perasaan bahwa sistem hanya bekerja untuk segelintir elite memperdalam ketidakpuasan publik terhadap lembaga politik arus utama. Kombinasi polarisasi emosional dan ketidaksetaraan ekonomi inilah yang membuka ruang bagi dua jawaban ekstrem: di satu sisi populisme kanan seperti Trumpisme dan di sisi lain gerakan kiri progresif yang menuntut transformasi kebijakan ekonomi secara radikal. Kemenangan Mamdani di New York muncul tepat di persimpangan dua arus besar ini, ketika sebagian warga kota mencari alternatif terhadap elite lama tetapi juga menolak solusi otoritarian dari kubu kanan populis.
New York sebagai kota global memperlihatkan bentuk paling terbuka dari kontradiksi kapitalisme urban yang menjadi latar krisis tersebut. Di satu sisi, kota ini adalah pusat keuangan internasional, rumah bagi perusahaan multinasional dan miliarder, sementara di sisi lain ia menampung jutaan pekerja berupah rendah yang berjuang menghadapi harga sewa yang melonjak, transportasi yang mahal, dan layanan publik yang sering kali tidak memadai (Gabbatt, 2025; Kassam, 2025). Laporan jurnalisme kebijakan menunjukkan bahwa bagi banyak warga, persoalan utama bukanlah abstraksi ideologis tentang kiri dan kanan, tetapi pertanyaan konkret apakah mereka masih dapat hidup, bekerja, dan membesarkan keluarga di kota tersebut tanpa diusir oleh kekuatan pasar properti dan spekulasi (Gabbatt, 2025).
Dalam konteks ini, platform Mamdani tentang bus gratis, sewa yang dibekukan, dan childcare publik tampil bukan sebagai lompatan ideologis semata, melainkan jawaban langsung terhadap pengalaman keseharian kelas pekerja kota (Greene, 2025; Weber, 2025). Bagi banyak pengamat di Eropa, kebijakan yang diusulkan Mamdani bahkan dianggap biasa saja karena sudah lama dipraktikkan di berbagai kota, sehingga yang tampak “radikal” di New York sebenarnya hanyalah upaya mengejar standar kesejahteraan sosial minimum (Kassam, 2025). Sebaliknya, bagi elite bisnis, pengembang properti, dan politisi yang dekat dengan lobi korporasi, agenda tersebut dipandang mengancam status quo fiskal dan struktur kepemilikan yang selama ini menguntungkan mereka, sehingga perlawanan terhadap Mamdani menjadi sangat keras (Brockes, 2025). Dengan demikian, kemenangan Mamdani tidak dapat dilepaskan dari ketegangan struktural antara kebutuhan mayoritas warga yang mencari keterjangkauan hidup dan kepentingan minoritas kaya yang mempertahankan privilese mereka, sebuah ketegangan yang menjadi inti krisis demokrasi liberal di Amerika hari ini.
Kemenangan Islam?: Batas-Batas Politik Identitas
Dalam percakapan di berbagai kanal Telegram ataupun grup WhatsApp, kemenangan Mamdani cepat sekali dibingkai sebagai “kemenangan Islam” atas Barat sekuler, seolah-olah New York baru saja berubah menjadi kota Muslim hanya karena wali kotanya beragama Islam. Narasi ini diperkuat oleh fakta bahwa ia secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai Muslim, sering menggunakan simbol-simbol keislaman dalam ruang personal dan mengambil posisi tegas mengutuk operasi militer Israel di Gaza sebagai bentuk genosida yang harus dihentikan (Mahdawi, 2025; Pilkington, 2025). Tidak mengherankan bila banyak pemilih Muslim di New York, serta komunitas diaspora Asia Selatan dan Arab, merasa secara emosional terwakili oleh kemenangan ini dan merayakannya sebagai momen kebanggaan kolektif.
Namun, jika kita menelisik lebih jauh, identitas keislaman Mamdani dalam politik tidak diterjemahkan ke dalam proyek negara Islam atau agenda penerapan syariat di ruang publik, melainkan ke dalam komitmen etik pada keadilan sosial, solidaritas dengan yang tertindas, dan penolakan terhadap kekerasan struktural. Platform kampanye resminya tidak memuat tuntutan hukum agama, tetapi berisi program pembekuan sewa, transportasi gratis, penyediaan toko bahan makanan publik, dan penjagaan hak penyewa sebagai jalan untuk menjadikan kota lebih manusiawi bagi semua warga, termasuk non-Muslim (Greene, 2025; NYC, 2025). Senafas dengan itu, jargon yang ia gunakan di podium bukanlah seruan untuk menjadikan New York sebagai “kota Islam”, melainkan seruan untuk mengakhiri dominasi miliarder atas kebijakan kota dan mengembalikan kekuasaan kepada komunitas akar rumput (Weber, 2025). Artinya, sekalipun identitas Muslimnya penting secara simbolik, kemenangan Mamdani secara substantif lebih merupakan kemenangan agenda keadilan sosial lintas identitas ketimbang kemenangan Islam sebagai ideologi politik yang eksklusif.
Perbedaan antara representasi identitas dan proyek politik keagamaan ini penting ditegaskan agar kita tidak jatuh pada simplifikasi yang berbahaya. Representasi berarti kehadiran figur Muslim di posisi kekuasaan yang selama ini didominasi kelompok lain, yang dapat membuka ruang simbolik dan politik baru bagi komunitasnya tanpa harus mengubah struktur negara menjadi negara agama. Proyek politik keagamaan, sebaliknya, mengandaikan upaya sistematis untuk mendefinisikan ulang dasar hukum dan institusi negara berdasarkan doktrin tertentu, yang sama sekali tidak menjadi bagian dari agenda Mamdani di New York.
Jika kemenangan Mamdani dipaksa dibaca sebagai “kemenangan Islam”, kita berisiko menutup mata terhadap kerja keras politik kelas pekerja non-Muslim yang turut mendukungnya dan terhadap desain kebijakan konkret yang menjadi inti platform-nya. Lebih jauh lagi, klaim seperti itu dapat memicu reaksi balik dari kelompok yang merasa terancam oleh “islamisasi” imajiner dan pada akhirnya justru memperkuat Islamofobia yang selama kampanye sudah cukup kuat mengarah kepadanya (Mahdawi, 2025). Bacaaan yang lebih produktif adalah melihat bagaimana nilai keadilan, keberpihakan pada yang lemah, dan solidaritas lintas batas—yang juga merupakan nilai inti dalam etika Islam—telah diterjemahkan Mamdani ke dalam kebijakan publik yang bisa dinikmati seluruh warga.
Konspirasi Zionisme Global?: Mengkritik Cara Pikir Konspiratif
Narasi ekstrem di sisi seberang mengklaim bahwa kemenangan Mamdani hanyalah “sandiwara” atau rekayasa Zionisme global, seakan-akan tidak ada yang terjadi di Amerika kecuali apa yang sudah diskenariokan oleh satu pusat kekuasaan tersembunyi. Narasi ini biasanya bertumpu pada keyakinan bahwa “Yahudi” atau “Zionis” menguasai seluruh institusi kunci—bank, media, pemerintah—sehingga setiap hasil pemilu atau kebijakan pada akhirnya adalah produk desain mereka, termasuk ketika seorang Muslim progresif memenangkan pemilihan wali kota. World Jewish Congress menunjukkan bahwa klaim semacam ini merupakan turunan langsung dari mitos konspiratif klasik yang bertumpu pada teks palsu Protocols of the Elders of Zion, pamflet antisemit abad ke-20 yang menggambarkan rencana imajiner orang Yahudi untuk menguasai dunia (Congress, n.d.). Dalam mitos itu, meskipun Yahudi hanya minoritas kecil, mereka dituduh mengendalikan perbankan, media, pemerintahan, bahkan cuaca. Segala krisis di dunia dianggap sebagai buah rekayasa mereka. Rangkaian penelitian sejarah dan kajian antisemitisme menunjukkan bahwa Protocols telah berulang kali dibuktikan sebagai karya fiktif, namun tetap berpengaruh karena menyediakan narasi sederhana yang menyalahkan satu kelompok atas kompleksitas masalah global (Broschowitz, 2022; Foxman, 2008). Ketika narasi semacam ini diadopsi tanpa kritik oleh sebagian kalangan Muslim, sering kali dengan mengganti kata “Yahudi” menjadi “Zionis”, batas antara kritik sah terhadap kebijakan negara Israel dan kebencian kolektif terhadap komunitas Yahudi menjadi kabur. Dalam konteks itu, menempelkan label “konspirasi Zionis” pada kemenangan Mamdani bukanlah analisis politik, melainkan reproduksi pola pikir konspiratif yang berakar pada tradisi antisemitisme modern.
Jika kita kembali kepada fakta lapangan, sulit untuk mempertahankan klaim bahwa kemenangan Mamdani sepenuhnya dikendalikan oleh kekuatan Zionis di balik layar. Laporan jurnalis Ed Pilkington di The Guardian menggambarkan bagaimana kampanye Mamdani dibangun di atas operasi lapangan terbesar dalam sejarah politik kota itu, dengan puluhan ribu relawan yang mengetuk pintu warga dari Brooklyn hingga Queens dan sebagian besar dibiayai oleh donasi kecil, bukan oleh donatur besar atau lobi pro-Israel (Pilkington, 2025). Sebaliknya, sejumlah tokoh yang dekat dengan kepentingan pro-Israel justru terang terangan menyatakan kekhawatiran atas sikap Mamdani yang sangat kritis terhadap perang Gaza dan dukungan militer Amerika kepada Israel, sehingga logika bahwa “mereka” sengaja mengangkat figur seperti ini menjadi sulit dipertahankan (Mahdawi, 2025; Weber, 2025). Bila kita menyederhanakan semua dinamika ini sebagai skenario Zionis, kita bukan hanya menafikan agensi jutaan pemilih dan relawan di New York, tetapi juga gagal membaca pertarungan yang nyata antara blok progresif dan blok establishment di tubuh Partai Demokrat sendiri (Brockes, 2025). Prihandono Wibowo dalam analisisnya tentang perang Iran–Israel telah mengingatkan bahaya cara pikir serupa, yakni kecenderungan sebagian kalangan untuk menyebut konflik tersebut hanya sebagai “sandiwara” antarmusuh Islam tanpa melihat biaya material dan politik yang ditanggung masing-masing pihak (Wibowo, 2025). Dengan kata lain, teori konspirasi yang tampak “kritis” pada akhirnya justru menghalangi kita dari kerja intelektual yang lebih berat, yaitu memetakan aktor, kepentingan, dan struktur kekuasaan yang konkret secara rinci. Karena itulah, membongkar mitos “konspirasi Zionis” dalam kasus Mamdani merupakan langkah penting agar analisis politik dunia Islam tidak terjebak pada pola pikir anti-intelektual yang menolak kompleksitas.
Pertarungan antar Kekuatan di Amerika: Apa Artinya bagi Dunia Islam?
Jika kita melepaskan diri dari dua narasi ekstrem tadi, Amerika Serikat tampak sebagai arena pertarungan antar blok kekuatan yang saling bersaing, bukan sebagai entitas tunggal yang sepenuhnya dikendalikan satu kelompok.
Blok pertama adalah kanan populis yang diwakili oleh Trumpisme, yang menggabungkan nasionalisme putih, kebijakan ekonomi pro-korporasi, dan dukungan hampir tanpa syarat terhadap Israel, serta memobilisasi ketakutan terhadap imigran dan Muslim sebagai ancaman keamanan (Kleinfeld, 2023). Blok kedua adalah blok tengah liberal yang mewakili establishment Partai Demokrat, yang cenderung mempertahankan status quo neoliberal dengan sedikit koreksi sosial, dan dalam isu Israel–Palestina sering kali tetap berada dalam garis besar dukungan tradisional terhadap Israel meskipun dengan retorika hak asasi manusia. Blok ketiga adalah kiri progresif yang diwakili oleh figur seperti Bernie Sanders, Alexandria Ocasio-Cortez, Jamaal Bowman, dan kini Zohran Mamdani, yang mengusung agenda redistribusi ekonomi, perluasan layanan publik, serta kritik keras terhadap perang di Gaza dan hegemoni Israel (Pilkington, 2025; Weber, 2025).
Penelitian tentang polarisasi menunjukkan bahwa konflik di antara blok-blok ini sering kali tidak hanya soal kebijakan, tetapi juga terkait identitas, nilai moral, dan persepsi ancaman terhadap cara hidup masing-masing (Reiljan et al., 2024). Dalam medan yang terpecah seperti ini, kemenangan Mamdani menunjukkan bahwa blok ketiga memiliki daya hidup elektoral di level kota, meskipun di level negara federal kekuatan kanan populis dan establishment masih sangat kuat. Ini berarti bahwa bagi dunia Islam, membaca Amerika hanya sebagai “negara pro-Israel” tanpa melihat dinamika internal di antara ketiga blok tersebut akan menghasilkan analisis yang timpang dan berpotensi menutup peluang solidaritas maupun advokasi yang lebih efektif.
Bagi dunia Islam dan Global South, kemenangan Mamdani membuka setidaknya tiga pelajaran penting. Pertama, bahwa di dalam negeri Amerika sendiri terdapat aktor-aktor politik yang siap mengambil risiko untuk menantang hegemoni Israel dan mempromosikan agenda keadilan bagi Palestina, sehingga arena solidaritas tidak hanya berada di jalan-jalan Gaza atau Ramallah, tetapi juga di bilik suara New York dan kota kota lain (Mahdawi, 2025; Weber, 2025). Kedua, bahwa solidaritas terhadap Palestina dan dunia Islam dapat diartikulasikan secara efektif melalui bahasa keadilan sosial universal—seperti hak atas hunian, pekerjaan layak, dan layanan publik—yang mampu memobilisasi dukungan lintas agama dan etnis, sebagaimana diperlihatkan oleh koalisi pemilih Mamdani (Greene, 2025; Kassam, 2025).
Ketiga, bahwa bagi gerakan politik Muslim di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, kasus New York dapat menjadi cermin untuk menilai sejauh mana agenda keadilan sosial benar-benar menjadi prioritas, dibandingkan sekadar simbolisme keagamaan yang tidak menyentuh akar ketimpangan struktural.
Dengan mengadopsi cara baca yang lebih struktural dan kelas, umat Islam dapat mengidentifikasi potensi sekutu di luar komunitasnya sendiri, termasuk kelompok kiri progresif di Barat yang menentang Islamofobia dan mendukung hak-hak Palestina. Sebaliknya, jika analisis kita berhenti pada dikotomi sederhana “Barat vs Islam” atau “Zionis vs umat”, kita akan kehilangan kesempatan untuk membangun aliansi lintas batas yang mampu menekan struktur kekuasaan yang sebenarnya menindas rakyat biasa di berbagai belahan dunia. Dalam kerangka tersebut, kemenangan Mamdani bukanlah akhir dari pertarungan, tetapi sebuah titik terang yang menunjukkan bahwa bahkan dalam jantung kekuatan global sekalipun, ada ruang untuk politik yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih dekat dengan nilai-nilai keadilan yang juga diajarkan agama.
Mengubah Cara Kita Membaca Amerika
Dari uraian yang telah dikemukakan, tampak bahwa kemenangan Zohran Mamdani tidak dapat secara sederhana diklaim sebagai kemenangan Islam ataupun disingkirkan sebagai sekadar rekayasa Zionisme global. Kemenangan itu lahir dari persilangan antara krisis kapitalisme urban New York, polarisasi afektif di Amerika Serikat, dan mobilisasi akar rumput yang berhasil mengartikulasikan agenda keadilan sosial dalam bahasa yang dapat dipahami warga biasa (Greene, 2025; Kleinfeld, 2023; Pilkington, 2025).
Identitas keislaman Mamdani memainkan peran penting sebagai sumber legitimasi moral dan simbolik, tetapi ia beroperasi bukan sebagai proyek penegakan negara Islam, melainkan sebagai etika keadilan yang diterjemahkan ke dalam kebijakan publik universal. Sebaliknya, teori konspirasi tentang “Zionis global” yang mengendalikan segalanya gagal menjelaskan fakta bahwa kampanye Mamdani justru berhadapan dengan kepentingan pro-Israel, dibiayai donasi kecil, dan mengandalkan kerja sukarela puluhan ribu warga biasa (Congress, n.d.; Pilkington, 2025). Kedua narasi ekstrem ini—euforia identitas dan paranoia konspiratif—pada akhirnya sama-sama mengaburkan struktur kekuasaan konkret, relasi kelas, dan konfigurasi institusi yang perlu dianalisis bila kita ingin memahami politik global secara serius.
Dalam konteks studi hubungan internasional dan politik Islam, tugas intelektual justru adalah menolak godaan penjelasan instan semacam itu dan menggantinya dengan pembacaan yang lebih teliti terhadap aktor, kepentingan, dan konteks historis yang spesifik. Kemenangan Mamdani, dengan demikian, sebaiknya diperlakukan bukan sebagai jawaban final, melainkan sebagai bahan uji bagi mutu analisis kita terhadap dinamika kekuasaan di jantung sistem internasional.
Mengubah cara kita membaca Amerika berarti mengakui bahwa negara tersebut adalah medan konflik yang kompleks, di mana kekuatan imperial, gerakan progresif, dan komunitas minoritas berinteraksi dalam bentuk yang kadang kontradiktif. Bagi umat Islam, pendekatan ini menawarkan jalan tengah antara romantisme bahwa “Barat akhirnya tunduk kepada Islam” dan fatalisme bahwa “semua sudah diatur musuh.” Dua sikap yang sama-sama tidak membantu dalam merumuskan strategi politik jangka panjang yang realistis. Pendekatan ini juga membuka ruang bagi etika solidaritas lintas batas yang lebih canggih, di mana kita dapat mengenali sekutu dan lawan bukan berdasarkan identitas agamanya, melainkan berdasarkan posisi mereka terhadap keadilan sosial, anti-kolonialisme, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Sebagai akademisi dan aktivis di dunia Islam, kita ditantang untuk menjadikan peristiwa seperti kemenangan Mamdani sebagai kesempatan memperdalam literasi politik global, memeriksa ulang asumsi-asumsi sendiri, dan menghubungkannya dengan agenda keadilan di konteks domestik. Dengan cara itu, diskursus politik Islam dapat bergerak melampaui slogan dan teori konspirasi menuju analisis yang lebih matang, yang pada gilirannya dapat menghasilkan praktik politik yang lebih efektif dan bermartabat. Jika New York, sebagai simbol kapitalisme global, dapat menjadi ruang bagi seorang Muslim progresif yang memperjuangkan kota yang lebih adil, maka pertanyaan bagi kita bukan lagi apakah hal serupa mungkin terjadi di dunia Islam, melainkan apakah kita siap membangun fondasi sosial dan intelektual untuk mewujudkannya.
Jawaban atas pertanyaan itu tidak akan datang dari narasi singkat di media sosial, melainkan dari kerja panjang membangun gerakan, pengetahuan, dan solidaritas yang berorientasi pada keadilan—sebuah kerja yang justru disingkapkan sebagai kebutuhan mendesak oleh kemenangan Zohran Mamdani di New York.