Secara historis, studi Hubungan Internasional merupakan temuan budaya Barat yang pada awal kehadirannya lebih banyak membahas tentang kepentingan negara negara besar yang terlibat dalam perang dan perdamaian internasional (Hadiwinata, 2017).
Sebagai temuan budaya Barat, studi hubungan internasional didominasi oleh paradigma yang dibangun di atas fondasi epistemologi yang menempatkan manusia sebagai pusat realitas (antroposentris). Paradigma yang dominan dalam studi hubungan internasional – yaitu positivisme – cenderung membangun teori berdasarkan kaidah-kaidah sosial dan keajegan yang membuat batasan-batasan yang disengaja (Hadiwinata, 2017). Positivisme telah menentukan apa yang bisa dipelajari studi hubungan internasional (Smith, 1996). Studi hubungan internasional harus bebas nilai sebagaimana diyakini positivisme. Konsekuensinya, dinamika hubungan internasional kerap kali dipahami melalui lensa kepentingan kekuasaan, ekonomi, dan keamanan tanpa mempertimbangkan aspek keadilan yang universal.
Dalam konteks ini, menjadi relevan untuk mengedepankan pendekatan Islam sebagai salah satu pendekatan alternatif. Salah satu cendekiawan muslim Indonesia yang menawarkan kerangka konseptual tentang paradigma Islam adalah Kuntowijoyo. Ia memperkenalkan gagasan Ilmu Sosial Profetik yang berupaya untuk mengintegrasikan wahyu dan realitas sosial ke dalam bangunan ilmu pengetahuan (Kuntowijoyo, 2006). Pendekatan ini dapat menjadi landasan bagi pengembangan studi Hubungan Internasional yang tidak hanya empiris, tetapi juga bernilai normatif dan transendental.
Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan konsep Ilmu Sosial Profetik serta relevansinya dalam studi Hubungan Internasional. Tulisan ini diharapkan dapat membuka ruang bagi pengembangan paradigma yang berakar pada nilai-nilai Islam dan sekaligus memberi kontribusi dalam menjawab krisis etika dalam politik internasional kontemporer.
Islam sebagai Ilmu
Kuntowijoyo memandang bahwa Islam tidak hanya dipandang sebagai sistem kepercayaan. Ia memandang Islam sebagai sumber epistemologi ilmu pengetahuan. Kuntowijoyo mengusulkan konsep pengilmuan Islam yaitu ilmu yang dikembangkan dari kerangka konseptual Islam dengan menjadikan nilai-nilai wahyu sebagai inspirasi objektifikasi keilmuan (Kuntowijoyo, 2006). Ilmu harus berfungsi bukan hanya untuk menjelaskan realitas, tetapi juga untuk mengubah realitas menuju kebaikan.
Kuntowijoyo berpendapat bahwa kita membutuhkan ilmu-ilmu sosial profetik yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa (Kuntowijoyo, 2006). Oleh karena itu, Ilmu Sosial Profetik tidak hanya mengejar tujuan mengubah untuk perubahan, tetapi lebih jauh, mengubah untuk cita-cita etik dan profetik tertentu. Menurut Kuntowijoyo, perubahan tersebut berdasarkan pada cita-cita humanisasi, liberasi, dan transendensi, sebagai suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam (Kuntowijoyo, 2006).
Kuntowijoyo menekankan humanisasi, liberasi, dan transendensi sebagai pilar utama dalam Ilmu sosial profetik. Pertama, humanisasi atau amar ma’ruf bertujuan untuk memanusiakan manusia. Humanisasi menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari umat manusia (Kuntowijoyo, 2006). Amar ma’ruf menolak dehumanisasi dan menumbuhkan solidaritas antar umat manusia. Kedua, liberasi atau nahi munkar bertujuan untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan. Kuntowijoyo menyebut bahwa sasaran liberasi adalah sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik (Kuntowijoyo, 2006). Liberasi tersebut merupakan usaha-usaha untuk membebaskan manusia dari sistem pengetahuan yang materialistis, membebaskan manusia dari dominasi struktur, membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan struktural, serta membebaskan manusia dari sistem politik ototitarianisme, diktator, dan neofeodalisme (Kuntowijoyo, 2006).
Ketiga, transendensi atau tu’minuna billah menegaskan bahwa ilmu harus berakar pada keimanan dan nilai-nilai ilahiah. Ilmu harus menjadikan Tuhan sebagai pusat dari orientasi moral dan tujuan akhir dari pengetahuan. Humanisasi dan liberasi harus memiliki nilai transendensi yang jelas, yaitu menjadikan Islam sebagai rujukan yang utama. Ilmu Sosial Profetik tidak berhenti hanya pada aspek epistemologi, tetapi lebih jauh bergerak dan menyentuh aspek aksiologi. Ilmu digunakan untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan beradab berlandaskan pada nilai-nilai trasendensi.
Relevansi Ilmu Sosial Profetik dalam Studi Hubungan Internasional
Studi Hubungan Internasional konvensional lahir dan berkembang dari pemikiran modernitas Barat. Paradigma-paradigma dalam studi hubungan internasional cenderung sekuler, rasional, dan berorientasi pada power. Corak tersebut menyebabkan pemikiran tentang studi Hubungan Internasional mengabaikan peran nilai, moral, dan spiritual dalam membentuk perilaku aktor dalam politik internasional. Di sisi lain, konsep Ilmu Sosial Profetik dapat menjadi pandangan yang menawarkan pergeseran cara pandang dari kepentingan material menuju tanggung jawab moral dan spiritual. Dengan meminjam cara pandang Ilmu Sosial Profetik, maka kita dapat memandang bahwa hubungan internasional tidak dapat dilepaskan dari nilai nilai kemanusiaan universal. Humanisasi, liberasi, dan transendesi dapat digunakan untuk mengurai fenomena fenomena hubungan internasional.
Dengan demikian, maka fenomena hubungan internasional seperti perang, kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, bukan hanya masalah politik dan ekonomi, tetapi juga krisis moral dan spiritual. Ilmu Sosial Profetik menempatkan moralitas, keadilan, dan kemanusiaan sebagai variabel utama dalam analisis hubungan antarbangsa.
Implikasi
Secara epistemologi, penerapan konsep Ilmu Sosial Profetik dalam studi Hubungan Internasional mempertegas pergeseran dari pandangan bahwa ilmu adalah suatu hal yang netral menuju pada ilmu yang berorientasi nilai. Ilmu bukan hanya alat analisis, tetapi juga sarana untuk mewujudkan transformasi sosial. Pendekatan profetik ini juga menuntun kebijakan luar negeri menuju keadilan, solidaritas, dan tanggung jawab moral global. Prinsip humanisasi, liberasi, dan transendensi menghadirkan paradigma keilmuan yang memadukan rasionalitas dan nilai-nilai wahyu.
Ilmu Sosial Profetik menolak reduksionisme materialistik dan menempatkan nilai moral serta spiritual sebagai dasar bagi tatanan dunia yang adil dan damai. Ilmu Sosial Profetik dapat menjadi landasan bagi pembangunan teori Hubungan Internasional yang tidak hanya menjelaskan realitas, tetapi juga berupaya memperbaikinya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keimanan.