Haji dan Hubungan Internasional

[box] Penulis: Rizky Hikmawan (Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta)

Editor: Koran Republika [/box]

 

Islam adalah agama yang komprehensif. Tidak ada persoalan kehidupan yang tidak dibahas dalam Islam, termasuk mengenai hubungan internasional. Pandangan Islam tentang hubungan internasional berangkat dari firman Allah SWT, “Wahai manusia! Sungguh telah Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS 49: 13).

Ayat di atas mengajarkan kita bahwasanya keberagaman suku bangsa merupakan fitrah yang harus disyukuri. Keberagaman tersebut bukan dimaksudkan untuk menciptakan permusuhan antarsuku bangsa, melainkan sebagai sarana untuk saling mengenal.

Dengan demikian, setiap suku bangsa tidak boleh menganggap dirinya lebih tinggi di atas yang lain. Bagi Allah SWT, kemuliaan seseorang ditentukan oleh ketakwaannya, bukan latar belakang suku bangsanya. Oleh karena itu, setiap Muslim harus menghindari rasialisme dan chauvinisme.

Salah satu implementasi pandangan Islam tentang hubungan internasional dapat dilihat dari pelaksanaan ibadah haji yang saat ini sedang berlangsung. Di dalam pelaksanaan ibadah haji, pesan QS 49: 13 jelas terlihat ketika jutaan manusia dari beragam suku bangsa berkumpul di Tanah Suci menyerukan kebesaran dan keagungan Allah SWT.

Berkumpulnya beragam suku bangsa adalah fenomena khusus yang hanya terdapat dalam Islam. Tidak ada satu momen di dunia ini yang mampu mengumpulkan jutaan manusia berbeda suku bangsa dan negara dalam satu waktu tertentu. Inilah bentuk hubungan internasional paripurna yang mengedepankan perbedaan dalam kerangka persatuan dan perdamaian dunia.

Jadi, salah besar apabila masih ada pendapat tertentu yang menyatakan bahwa Islam adalah agama teror yang mengedepankan kekerasan. Hal ini dapat ditinjau dari beberapa bentuk ibadah haji.

Pertama, penggunaan pakaian ihram adalah simbol yang meleburkan batas-batas keduniawian yang dimiliki oleh setiap Muslim. Melalui ihram, si kaya bersatu dengan si miskin untuk bermunajat kepada Ilahi Rabbi. Penggunaan ihram juga merupakan simbol persatuan (QS 3: 103) yang nantinya akan memperkuat persaudaraan (QS 49: 9-10).

Kedua, pelaksanaan wukuf adalah sikap untuk bersabar dalam menghadapi ujian dunia (QS 3: 186). Kesabaran tersebut diikuti dengan sikap untuk senantiasa mencari ridha Allah SWT dalam menjalani kehidupan (HR Ibnu Hibban no 276).

Dalam konteks hubungan internasional, orientasi seorang Muslim bukanlah power dan hal-hal materiil yang bersifat duniawi sebagaimana yang dikemukakan oleh paham realis. Mengacu kepada QS 49: 13 di atas, orientasi Muslim adalah saling bekerja sama (mengenal) satu sama lain.

Hanya saja, kerja sama tersebut bukan dalam konteks keduniawian semata seperti yang diperjuangkan paham liberal, melainkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS 2: 148) yang mengarah pada ketakwaan.

Ketiga, dalam thawaf, umat manusia diajak untuk memahami hakikat dunia adalah untuk semata-mata beribadah kepada Sang Khaliq (QS 51: 56). Secara bersamaan, para jamaah haji mengitari Baitullah mengikuti arah gerak semesta yang senantiasa berzikir pada Allah SWT.

Pelaksanaan thawaf juga menjadi simbol adanya keteraturan dalam dunia. Sebuah pesan yang bertolak belakang dengan konsepsi umum akan sistem internasional yang berlangsung dalam kondisi anarki. Konsep negara-bangsa sesungguhnya bukan suatu penghalang bagi terwujudnya keteraturan dunia selama dilandasi oleh nilai-nilai transendental.

Keempat, pelaksanaan sa’i dapat dipahami sebagai simbol kasih sayang. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh Siti Hajar ketika berlari antara bukit Safa dan Marwah untuk memperoleh air untuk bayinya, Ismail AS. Ironisnya, saat ini dunia dipengaruhi oleh berbagai konflik yang menjadi antitesis dari semangat kasih sayang yang ditunjukkan oleh pelaksanaan sa’i.

Terlepas dari kondisi dunia yang masih bergelut dengan konflik, sa’i juga mengajarkan pada kita untuk senantiasa berusaha tanpa kenal lelah dan putus asa untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, setiap Muslim yang memahami makna sa’i pasti akan senantiasa berjuang untuk perdamaian dunia sebagai simbol kasih sayang antarsesama.

Terkait relasinya dengan non-Muslim, semangat haji yang berlandaskan upaya untuk saling mengenal dalam bingkai perdamaian harus senantiasa dikedepankan. Seorang Muslim tidak boleh memerangi non-Muslim hanya karena perbedaan keyakinan.

Hal ini mengingat tidak ada paksaan dalam agama (QS 2: 256). Perang (jihad) hanya diperbolehkan dalam kondisi defensif, tidak diperkenankan melampaui batas, dan ketika lawan berhenti, maka ampunilah (QS 2: 190-194).

Semoga pelaksanaan ibadah haji tahun ini dapat menjadi petunjuk bagi umat manusia, khususnya para pemimpin negara yang sedang bertikai untuk menghentikan konflik seraya mengedepankan persatuan dan perdamaian dunia. Wallahu a’lam bishawab.

* Artikel telah dimuat di Koran Republika 13 September 2016

One thought on “Haji dan Hubungan Internasional”

Leave a Reply