[box] Penulis: Hasbi Aswar (Universitas Islam Indonesia)
Editor: M. Qobidl ‘A. Arif[/box]
Abstract
Ulama has tremendous roles in Islamic Society. Ulama has political power since his reputable cultural position in Islamic Society. Thoroughout the history, ulama became legitimizing actor to the stabilization of government or de-legitimizing power leading to revolution in the political system. The big political potential of ulama is the source of stabilizing factor in the state of Saudi Arabia. From the inception of this country, ulama and the king had already dealt that both of them will support each other to serve the Kingdom. This article will elaborate the role of ulama in Muslim countries, especially in the Kingdom of Saudi Arabia. The real role of ulama in Saudi politics as very important factor to stabilize Saudi Arabian politics as shown in many political tragedies.
Keywords: Ulama; Negara Islam; Arab Saudi
Pendahuluan
Dalam kajian hubungan internasional mainstream,agama sama sekali tidak menjadi isu yang penting sehingga kajian mengenai hubungan internasional didominasi oleh perspektif atau pemahaman kapabilitas material (material capability). Perspektif ini menurut Hurd (2008) merupakan perspektif bermasalah dan dampaknya menjadikan kajian hubungan internasional tidak relevan dalam menganalisis persoalan-persoalan politik internasional kontemporer yang bermotifkan agama seperti munculnya fundamentalisme agama, konflik internasional, keamanan nasional dan kebijakan luar negeri, seperti peristiwa 9/11 WTC, fenomena al-Qaeda, perjuangan Hamas melawan Israel, politik luar negeri Iran & Saudi, dan lain sebagainya (Hurd, 2008: 1). Hal yang sama juga dikatakan oleh Fox (2008: 273) bahwa teori-teori dasar dalam hubungan internasional seperti, realisme, liberalisme, konstruktivisme, English school dan marxisme gagal menjadikan agama sebagai kajian untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa politik internasional yang terjadi.
Menurut Hurd & Fox, problem yang mendasari kegagalan teori-teori mainstream tersebut berangkat dari mitos Perjanjian Westhpalia 1648 yang menyepakati privatisasi dan marjinalisasi agama. Agama bukanlah variabel penting dan keberadaannya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap politik internasional. Bahkan menurut para ilmuwan sosial seperti Marx, John Stuart Mill, Max Weber, Freud, Comte dan Durkheim, kemunculan dunia modern atau perspektif modern (sekuler) adalah akibat dari kegagalan atau keruntuhan agama sebagai sebuah kekuatan sosial dan politik. Akibat pemahaman inilah agama menjadi sangat termarjinalkan hingga akhirnya diprivatisasi dan diganti dengan teori modernisasi atau sekulerisasi (Hurd, 2008: 3; Fox, 2008: 274).
Untuk mengurai kegagalan teori-teori mainstream, menurut Hurd, pertama kali yang harus dilakukan adalah membongkar fenomena pemisahan antara agama dan politik versi para sekularis yang selama ini sudah dianggap wajar (taken for granted). Pemisahan tersebut, menurut Hurd, bukanlah sesuatu yang tetap (fixed), melainkan hasil dari konstruksi sosial dan historis (socially and historically constructed). Sekulerisme merupakan sebuah kondisi ideologis yang mengarahkan dan memaksa para teoritisi mendeskripiskan dan mengobjektifkan proses pemisahan agama dan politik tersebut (Hurd, 2008: 1).
Agama berpengaruh terhadap hubungan internasional bisa dilihat dalam beberapa aspek. Pertama, bahwa agama bisa menjadi sumber legitimasi bagi aktor pembuat kebijakan atau para penentangnya baik secara domestik maupun internasional. Setiap negara yang memiliki identitas keagamaan tertentu, tentu para pemimpinnya akan menjadikan identitas agamanya sebagai worldview yang akan membatasi perilaku dan melegitimasi setiap perbuatannya. Atau dalam kasus yang lain, sebuah negara yang mayoritas masyarakatnya cenderung memiliki identitas agama yang relatif homogen, maka akan sangat berpengaruh terhadap proses pembuatan kebijakan pemimpinnya. Kedua, beberapa isu dan konflik yang berlandaskan agama bisa bersifat lintas batas (cross border) dan menjadi isu internasional. Banyak kasus dimana negara-negara melakukan intervensi atau terlibat dalam penanganan konflik karena didorong oleh kesamaan agama, seperti keterlibatan negara-negara muslim dalam membantu Palestina. Begitu juga, konflik-konflik yang bermotif agama di sebuah wilayah bisa menginspirasi konflik di wilayah yang lain. Terakhir, munculnya fenomena transnasionalisme Islam yang memiliki tujuan mengubah sistem dunia yang sekuler menjadi Islam (Fox & Sandler, 2004: 163-165).
Dalam artikel ini, penulis akan memusatkan kajian mengenai pengaruh Islam dalam politik di negara-negara Muslim, khususnya pada peran ulama sebagai aktor utama dalam Islam yang memiliki otoritas untuk memutuskan nilai sebuah perbuatan. Tulisan ini akan mengkaji secara umum kecenderungan peran ulama di dalam politik di negara-negara mayoritas Muslim saat ini, kemudian akan mengambil kasus peran ulama dalam politik di negara Arab Saudi.
Islam dan Politik di Negeri Muslim
Di negara-negara Muslim, salah satu poin yang paling penting dan berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan adalah faktor identitas, yaitu identitas Islam atau identitas Arab bagi negara-negara Arab. Namun besaran pengaruhnya tergantung atas kuat tidaknya identitas tersebut dalam struktur negara. Jika identitas itu kuat maka rezim yang berkuasa di negara tersebut akan senantiasa menjaga kebijakan-kebijakanya sejalan dengan identitas tersebut (Hinnebusch, 2003: 93). Dalam banyak kasus dan peristiwa di regional Timur Tengah, identitas sangat berpengaruh dalam proses politik di negara-negara tersebut. Misalnya, salah satu alasan fundamental mayoritas negara-negara di Timur Tengah tidak berani melakukan hubungan diplomatik dengan Israel adalah karena persepsi atau opini publik mayoritas masyarakat Islam di Timur Tengah anti-Israel. Jika negara-negara Timur Tengah memilih untuk bekerjasama dengan Israel maka bisa mengancam stabilitas politik negara tersebut. Peristiwa yang lain termasuk Revolusi Islam Iran 1979 yang sangat kental membawa slogan-slogan Islam sebagai kunci mobilisasi massa untuk meruntuhkan rezim dan sistem Shah saat itu.
Identitas Islam atau Arab bagi negara-negara Islam di Timur Tengah bahkan lebih bermakna daripada identitas kenegaraan mereka seperti solidaritas Kurdi yang melintas batas negara Iraq, Turki, Iran dan Suriah. Dakwah Syiah Iran di Timur Tengah yang didukung oleh komunitas Syiah diseluruh Timur Tengah, termasuk solidaritas Syiah di Suriah membawa Iran dan Hizbullah terlibat dalam perang Suriah.
Signifikansi identitas Islam sebagai faktor berpengaruh di negera-negara Muslim Timur Tengah ditentang oleh Fred Halliday (2005). Menurutnya, berbagai peristiwa di Timur Tengah sebenarnya motifnya bukanlah motif ideologis, normatif atau berkaitan dengan identitas tertentu namun murni peristiwa politik, untuk kepentingan politik tertentu. Revolusi Iran sangat kental dengan nuansa ideologis. Namun dalam beberapa kasus seperti di Chechnya, Kashmir dan Sinjiang, komitmen ideologis Iran menjadi tidak kelihatan dengan alasan untuk menjaga hubungan baik dengan Rusia, India, dan China. Begitu juga dengan bantuan dana dari Arab Saudi ke Mesir untuk memutuskan hubungan dengan Soviet 1974-1976 dengan alasan identitas, namun tidak bisa mencegah Mesir menjalin hubungan damai dengan Israel pada tahun 1979. Ideologi atau identitas penting menurut Halliday, namun hanya sebagai instrumen negara untuk mencapai kepentingan politiknya, “ideology is a factor in foreign policy, but as an instrument of state, as much as it is an independent limit on what the state does” (Halliday, 2005: 65-66).
Agak sulit untuk bisa memilih perilaku sebuah aktor yang mengatasnamakan identitas tertentu seperti Islam untuk mengatakan bahwa perilaku mereka adalah karena pengaruh identitasnya atau hanya menjadikan Islam sebagai topeng untuk kepentingan politik tertentu. Namun, dalam argumen yang dibangun oleh Fox dan Sandler (2004), identitas agama bisa sangat berpengaruh terhadap politik luar negeri sebuah negara baik itu karena negara tersebut beridentitaskan agama tertentu sehingga pemimpinnya harus patuh pada identitas tersebut, ataukah mayoritas masyarakat di negara tertentu menganut agama (Islam) sehingga pemimpinnya sangat memperhatikan faktor Islam terhadap seluruh kebijakannya.
Ulama dalam Politik
Membahas mengenai politik di negeri yang mayoritas menganut Muslim, maka ulama menjadi aktor penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ulama dalam masyarakat Muslim memiliki posisi yang sangat tinggi. Ulama diyakini sebagai pewaris para Nabi dan memiliki kedalaman ilmu yang berkaitan dengan Islam baik ilmu al-Quran, hadits dan cabang-cabang ilmu Islam lainnya.
Dalam sejarah Islam, ulama memiliki posisi yang penting dalam berjalannya negara. Ulama sebagai satu-satunya yang diyakini mampu menafsirkan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya menjadikan posisinya sangat tinggi. Ulama bukanlah sebuah jabatan tertentu yang diangkat secara resmi, namun jabatan yang disematkan atasnya adalah berdasar capaian keilmuan yang didapatkannya. Dalam negara Islam masa lalu, ulama menjadi balance of power alias penyeimbang kekuasaan pemerintah. Keberadaan ulama dalam negara menjadi pengontrol penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Penguasa dalam negara Islam wajib menjalankan aturan Islam dalam setiap kebijakannya dan ulama menjamin supaya penguasa tetap berada di jalan tersebut. Ulama memang tidak memiliki kekuatan untuk menjatuhkan penguasa jika penguasa tersebut melenceng dari ajaran Islam. Namun posisi ulama sebagai panutan bagi masyarat dan simbol pengikat bagi masyarakat menjadikan ulama mampu mengubah rezim yang berkuasa dengan cara mempengaruhi ketaatan masyarakat terhadap penguasa melalui fatwa dan ajaran-ajarannya (Feldman, 2008:29-31). Fungsi ulama disini menurut Hatina adalah pengendali opini publik dan perwakilan informal bagi masyarakat. Disamping fungsi kontrol terhadap penguasa, ulama juga memiliki kemampuan sebagai stabilisator dan kekuatan penengah dalam masyarakat, termasuk antara penguasa dan rakyat.
Perubahan peran ulama terjadi di negara-negara Muslim saat masuknya proses modernisasi. Para ulama yang dahulunya memegang posisi-posisi penting sebagai pengendali sistem pendidikan, hukum dan opini publik berubah dengan pengadopsian struktur pemerintahan modern oleh pemerintah. Pengadopsian sistem negara modern mereduksi peran ulama menjadi sebatas di lingkungan keluarga atau personal saja. Begitu juga, peran sebagai pengendali opini publik dan pengendali sistem pendidikan berubah dengan masuknya media surat kabar dan sistem pendidikan modern. Ulama menjadi kehilangan monopoli atau otoritas terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan kapasitas ulama sebagai simbol identitas dan legitimasi terkadang hanya menjadi alat (rubber stamp) kebijakan penguasa untuk melawan oposisi atau musuh-musuhnya (Hatina, 2010).
Berkaitan dengan degradasi peran ulama dalam kekuasaan Islam digambarkan oleh Feldmen bahwa:
The core claim for continuity relies on a set of related observations. First, in the traditional Sunni constitutional order, the shari‘a was a transcendent, divine source of law interpreted exclusively by the scholars; but in the late Ottoman period, and in the constitutional orders that prevailed through most of the Sunni world after World War I, the shari‘a became instead a set of rules defined and applied by authority of the state. In many cases, the jurisdiction of the shari‘a shrank to encompass only matters of family law. Second, the scholars went from quasi-autonomous keepers of the law to, at best, dependent state functionaries. At worst, the scholars turned into purely religious figures irrelevant to adjudication or to governance more generally. Third, as a result of the first two changes, the scholars ceased to be necessary to legitimate the existing government (Feldmen, 2008: 81).
Setelah mendeskripsikan secara panjang lebar dalam tulisannya berkaitan dengan dinamika ulama dalam kekuasaan Islam hingga di abad modern, Feldmen menyimpulkan bahwa sejak masuknya pengaruh sistem konstitusi modern dalam kekuasaan Islam, hukum syariah hanya tinggal menjadi seperangkat aturan yang diterjemahkan dan dilaksanakan oleh otoritas negara, bahkan syariah hanya dibatasi sebagai hukum keluarga. Para ulama yang dahulunya independen terhadap kekuasaan dan menjadi pengawas kekuasaan, balancing of government power, kini menjadi agen kekuasaan yang terikat oleh otoritas penguasa dan suara mereka hanya menjadi instrumen legitimasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Ulama yang dahulunya dipahami sebagai motor bagi masyarakat, pengendali opini publik, penengah antara masyarakat dan penguasa, berubah menjadi figur atau simbol keagamaan semata yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Meski terdapat perubahan posisi ulama dalam negara-negara Muslim modern saat ini, namun posisi tradisional ulama dalam masyarakat bersifat tetap dan tidak berubah. Ulama tetap menjadi sumber penting pengetahuan masyarakat dan karenanya tetap memiliki posisi strategis dalam aspek politik di tengah-tengah masyarakat.Ulama akan tetap menjadi pemberi legitimasi terhadap berjalannya pemerintahan dan menjaga stabilitas pemerintahan. Sebaliknya ulama juga bisa menjadi pemimpin atau garda terdepan dalam pemberontakan dan revolusi melawan penguasa (Gibreel, 2001).
Peran ulama di era kontemporer bisa dilihat dalam banyak peristiwa politik yang terjadi di dunia Islam seperti pada revolusi Iran 1979 yang dimotori oleh Ayatollah Khomaeni, sesosok ulama Syiah yang kharismatik. Kemudian sebuah kudeta militer tahun 1989 di Sudan yang didukung penuh oleh Ulama yang mengangkat Omar al-Bashir sebagai presiden yang menggantikan Sadiq al-Mahdi. Juga, peristiwa kematian seorang jurnalis dan penulis Mesir, Farag Fouda, tahun 1992 adalah akibat dari fatwa ulama al-Azhar mengenai Fouda yang dianggap sekuler dan musuh Islam. Pembunuh Fouda mengakui bahwa perbuatannya adalah pengaruh dari fatwa al-Azhar tersebut. Peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan peran ulama sebagai oposisi terhadap penguasa, legitimasi politik, dan pengendali opini publik.
Ulama dan Politik di Kerajaan Arab Saudi
Hubungan antara ulama dan penguasa pemerintah Saudi merupakan hubungan yang saling membutuhkan. Ulama membutuhkan kekuasaan pemerintah Saudi untuk menyebarkan dan menjaga ajaran-ajaran Islam aliran Wahhabi dan pemerintah Saudi membutuhkan ulama untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan memberikan fatwa-fatwa terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Saudi.
Dalam pandangan Leigh Nolan (2011), secara historis keluarga kerajaan Saudi mendapatkan legitimasi dalam menjalankan kebijakan-kebijakan politiknya berasaskan pada beberapa hal, yakni kesukuan, histori, dan agama. Menurutnya, legitimasi dari agama menjadi pokok terpenting dari ketiga poin tersebut dan juga yang paling problematik. Hubungan Agama dankekuasaan Saudi menurut Nolan bagaikan pedang bermata dua yang mana jika salah satu bermasalah maka akan mempengaruhi atau menggoyang yang lain.
Hubungan antara penguasa Saudi dan Ulama Wahhabi telah terjalin sebelum berdirinya kerajaan tersebut, yaitu sekitar abad 18 tahun 1744 atau 1745. Saat itu telah terjadi kesepakatan antara Abdullah Ibnu Saud penguasa suku di wilayah Dir`iyyah dengan Abdullah ibnu Abdil Wahhab seorang ulama yang terkenal di Nejd penganut Mazhab Hanbali yang memiliki sikap keras terhadap praktek-praktek bid`ah dan kesyirikan. Keduanya bersepakat membangun sebuah kekuasaan untuk memperjuangkan dan menyebarkan paham keagamaan Wahhabi. Setelah kesepakatan tersebut, keduanya bahu membahu menyebarkan kekuasaan ibnu Saud dan aliran Wahhabi di seantero Jazirah Arab. Hal ini berakibat pada munculnya permusuhan kekuasaan ibnu Saud dan kekuasaan Utsmani di Turki dan melahirkan peperangan antara kedua belah pihak. Namun, semakin merosotnya kekuasaan Utsmani khususnya pada Perang Dunia Pertama membuat kekuasaan Saudi menjadi semakin kuat dan akhirnya mendeklarasikan kerajaan Arab Saudi tahun 1932. Dalam sejarah panjang kekuasaan Saudi hingga deklarasi, ulama duduk di posisi yang penting sebagai penjaga pemerintahan Saudi walaupun ada banyak yang meninggal dan terusir akibat perang yang panjang dengan kekuasaan Turki Usmani.
Posisi ulama Saudi berubah seiring dengan masuknya ide-ide modernisasi dalam struktur pemerintahan Saudi. Pembentukan kementerian-kementerian menjadikan fungsi politik Ulama menjadi berkurang bahkan ulama masuk dalam bagian dari struktur negara tersebut dengan hanya bertanggung jawab pada bidang-bidang tertentu yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan semata seperti dakwah, pendidikan dan peradilan. Sementara untuk kebijakan publik, pemerintah memiliki kewenangan penuh untuk membuat kebijakan.
Sebagai wadah kordinasi antara pemerintah Saudi dan para ulama, tahun 1971 kerajaan membentuk dewan ulama senior (Hay`At Kibar Al-`Ulama) yang dipimpin oleh seorang mufti besar. Dalam perjalanan politik Saudi, lembaga inilah yang banyak mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah Saudi dan menjadi lembaga kontra opini terhadap kelompok-kelompok oposisi di dalam masyarakat Saudi. Lembaga inilah yang memiliki otoritas keagamaan dan pembuat fatwa di Saudi.
Menurut Madawi Rasheed (2007), terdapat 3 mekanisme penting yang menjadi instrumen ulama senior dalam menjaga stabilitas politik di kerajaan Saudi, yaitu penggunaan konsep hijrah (migration), takfir (excommunication), dan Jihad.
Pertama, konsep Hijrah digunakan oleh para ulama Saudi untuk mengajak kaum Muslim di luar wilayah Saudi untuk berpindah atau bermigrasi ke wilayah Saudi sebab wilayah lain, termasuk wilayah Utsmani, sudah dianggap wilayah kafir yang harus ditinggalkan. Termasuk tidak bolehnya umat Islam tinggal di wilayah yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan ajaran Islam secara baik.
Kedua, Konsep Takfir (excommunicate) digunakan untuk memberikan label kafir atau telah keluar dari agama Islam bagi orang-orang yang berbeda dengan pendapat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Saudi. Di Abad 18, fatwa takfir ini menjadi pendorong utama ekspansi Saudi ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Turki Usmani. Saat ini, konsep ini juga dipakai untuk mem-black list aktor-aktor atau kelompok yang bertentangan dengan kekuasaaan Saudi. Keterlibatan Saudi dalam mendukung invasi ke Iraq melawan Saddam juga didukung oleh fatwa-fatwa ulama Saudi yang telah mengkafirkan Saddam Husain karena ideologi Ba`athis-nya.
Ketiga, Konsep Jihad digunakan untuk memerangi kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang telah diberikan cap kafir atas mereka. Jihad ini menjadi alat ekspansi pemerintah Saudi, utamanya pada era konsolidasi kekuasaan Saudi (Rasheed, 2007: 32-42).
Tiga mekanisme yang digunakan oleh ulama Saudi tersebut, menurut Rasheed, kebanyakan hanya menjadi instrumen pemerintah untuk menjamin stabilitas kekuasaan Saudi, sehingga ketiga konsep Islam yang dipegang oleh ulama Saudi kosong dari makna relijiusitasnya dan hanya menjadi senjata politik kerajaan Arab Saudi untuk meneguhkan posisi penguasa dan ulama di Arab Saudi.
“Hijra, takfir and jihad were three mechanisms used not only to enforcethe boundaries of the pious state but also to ensure total obedience torulers. While hijra advocated migration to the pious realm, takfir encouraged expulsion from it. Jihad, both peaceful and violent, rendered life aperpetual struggle in the way of God, but in reality it was transformedinto a political strategy applied only to enhance the authority of the rulers.The three concepts were emptied of their religious meaning and turnedinto political weapons to consolidate the realm and its moral guardians,the ulama” ( Rasheed, 2007: 45).
Rasheed berani mengambil kesimpulan yang mungkin agak kontroversial di kalangan umat Islam. Namun faktanya, ulama Arab Saudi terkesan memilih-milih peristiwa mana saja yang akan dikeluarkan fatwa atasnya dan isu apa saja yang tidak perlu diberikan fatwa. Contohnya, meskipun ulama secara normatif telah mengharamkan orang kafir masuk ke wilayah Islam Arab Saudi, namun mereka tidak pernah mengkritisi penguasa yang hingga saat ini telah menampung jutaan pekerja dari Barat yang bekerja di perusahaan-perusahaan minyak di Saudi. Begitupun koalisi antara Saudi dan Barat saat Perang Teluk di tahun 1990an, kemudiaan keberadaan pangkalan militer Amerika di Saudi, sedikitpun tidak mendapatkan fatwa yang menentang kebijakan pemerintah tersebut. Padahal fatwa-fatwa keharaman bekerjasama dengan negara kafir sudah tertulis di kitab-kitab ulama Saudi. Termasuk, tidak ada fatwa bagi dukungan Amerika terhadap penjajahan Israel atas Palestina, tidak ada fatwa untuk invasi Amerika di Iraq dan Afghanistan. Dari beberapa kasus yang fatwa ulama senior Saudi tidak hadir di sana menjadi kecurigaan tersendiri bagi sebagian kalangan. Akhirnya fatwa menjadi sesuatu hal yang problematik di internal kerajaan Arab Saudi. Fatwa keluar hanya untuk kepentingan pemerintah dan saat kondisi yang dianggap penting oleh pemerintah. Jared Ritenour (2014) menyebut hubungan kerajaan dan ulama sebagai sebuah sistem legitimasi simbiotik (a system of symbiotic legitimization) (Ritenour, 2014: 1).
Sebenarnya, tidak semua kalangan Islam di Arab Saudi tunduk pada otoritas kerajaan dan ulama senior atau mufti. Kerajaan Arab Saudi telah beberapa kali diguncang oleh kritikan dan protes dari berbagai kalangan termasuk ulama non afiliasi pemerintah. Namun sebagian persoalan-persoalan tersebut bisa dituntaskan oleh penguasa Saudi melalui tindakan keras terhadap para oposisi dan dukungan fatwa dari para ulama senior dan mufti.
Oposisi pertama kali muncul dalam sejarah Saudi berasal dari salah satu kelompok militer pendukung ekspansi Saudi yaitu Ikhwan. Kelompok ini menolak segala bentuk pengadopsian produk-produk modernitas dan Barat ke dalam kerajaan Saudi. Kelompok Ikhwan ini akhirnya bisa ditumpas oleh kerajaan Saudi.
Peristiwa selanjutnya adalah penyanderaan masjidil Haram oleh kelompok yang dipimpin Juhaimin ibn Muhammad Utaibi dan Muhammad ibn Abdullah al-Qahtani tahun 1979. Kelompok ini mengkritik kerajaan yang dianggap korup dan pengadopsian produk-produk modern ke dalam kerajaan Saudi, seperti Televisi dan Fotografi. Kelompok ini juga mengkritik Mufti Abdul Aziz bin Baz yang dianggap sebagai instrumen keluarga kerajaan untuk memanipulasi rakyat dan mendukung kekuasaaan yang korup. Dewan Ulama Senior mengeluarkan fatwa (sesuai permintaan raja Saudi) mengecam para penyandera dan menyimpang serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membersihkan Masjidil Haram melalui kekerasan. Tidak lama setelah keluar fatwa tersebut, Masjidil haram dibersihkan dengan kekuatan militer dan semua pemberontak ditangkap dan dieksekusi (Kechichian, 1986).
Pasca peristiwa Perang Teluk tahun 1990, muncul protes dan ketidak puasan terhadap pemerintah dari berbagai kalangan liberal, tokoh pemerintah, pengusaha, dan akademisi yang membuat petisi untuk menggugat pemerintah. Di sisi yang lain, kelompok Islam dari kalangan ulama non pemerintah membuat sebuah seruan tuntutan (khitab mathalib) kepada pemerintah Saudi untuk lebih taat pada hukum syariah di segala bidang. Kemudian diikuti dengan pengiriman surat yang ditandatangani 100 ulama kepada Mufti Abdul Aziz bin Baz tahun 1992 sebagai nasehat agar pemerintah bisa menerapkan Islam secara utuh dan memberikan kebebasan politik kepada para ulama, sarjana, guru untuk menulis serta berceramah.
Tekanan para oposisi tersebut direspon oleh pemerintah Saudi dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Ulama Senior yang mengecam para oposisi dan menganggap mereka sebagai provokator yang memecah belah pemerintah Saudi dengan melakukan kritik secara terbuka yang hanya menonjolkan keburukan-keburukan penguasa dibanding kebaikan-kebaikannya (Commins, 2006: 180). Sejak saat itu, tahun 1992-1994, pemerintah disibukkan dengan stabilisasi politik internal dengan melakukan pengawasan, intimidasi, dan penangkapan para oposisi. Tokoh ulama yang terkenal saat itu dan ditangkap adalah Syekh Safar Hawali dan Syekh Salman al-Awdah (tokoh sahwa Islamiah). Kedua tokoh ini, selain ditangkap, juga dilarang untuk mengajar, mengadakan pertemuan, dan direkam ceramahnya (Wynbrandt, 2004: 263).
Pada peristiwa Arab Spring atau revolusi dunia Arab tahun 2011 lalu, Arab Saudi juga terkena imbasnya. Berbagai petisi datang dari berbagai kalangan yang mengkritik birokrasi pemerintah yang tidak efisien, fanatisme beragama, kesenjangan sosial antara negara dan rakyat, serta seruan untuk melakukan demonstrasi secara massif menyebar melalui media online, blog, facebook, twitter dan youtube (Al-Omran, 2014: 6-7).
Menangani bahaya yang mengancam stabilitas negara, kerajaan Saudi membuat kebijakan keras dan lunak. Keras bagi demonstran seperti ditembak mati atau ditahan dan disiksa (Jones, 2011: 43). Kebijakan lunak dengan memberikan bantuan bagi masyarakat Saudi seperti program peningkatan gaji pegawai, pekerja, penambahan unit perumahan murah, dan penambahan pegawai (haykel, 2011). Untuk memenuhi tuntutan kalangan perempuan, pemerintah memberikan kursi bagi perempuan untuk duduk di kursi dewan syura (al-Otaibi, 2013).
Bagi kalangan ulama senior dan mufti Saudi, mereka secara tegas mengecam dan mengharamkan segala tindakan atau provokasi yang dilakukan untuk mendestabilisasi kerajaan Arab Saudi. Mufti Syekh Abdul Aziz al-Syaikh menyatakan bahwa protes anti pemerintah merupakan konspirasi musuh-musuh Islam untuk menyebarkan instabilitas dan untuk menghancurkan negara-negara Muslim Timur Tengah (Laessing, 2011). Tindakan yang dilakukan orang-orang Muslim ersebut, menurut mufti, hanya untuk memecah belah umat (schism), menimbulkan instabilitas, merupakan tindakan maksiat atau dosa, dan merusak akhlak meskipun tujuan mereka untuk memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan kesetaraaan (Alsharif, 2012).
Pandangan mufti ini sebenarnya telah menjadi ajaran yang dianut secara turun temurun oleh mufti-mufti sebelumnya dan anggota Dewan Ulama Senior. Mereka menganggap bahwa orang Muslim tidak boleh memberontak terhadap penguasa mereka yang Muslim walaupun penguasa tersebut pendosa, pelaku maksiat, diktator atau sewenang-wenang kepada masyarakat. Masyarakat boleh mengkritik penguasa tapi tidak boleh secara terang-terangan. Kritik boleh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, bisa melalui surat ataupun mendatangi langsung pemerintah untuk menasehatinya.
Sebagai entitas yang penting untuk menjaga ajaran Islam dan mitra pemerintah di kerajaan Arab Saudi, ulama (Dewan Ulama Senior dan Mufti) memiliki peran yang besar dalam menjaga stabilitas dan mendukung usaha-usaha pemerintah untuk menciptakan stabilitas di Arab Saudi. Dalam konteks merespon efek domino dari fenomena Arab Spring, Ulama Senior dan Mufti Mendukung pemerintah untuk meredam berbagai aksi unjuk rasa yang terjadi dengan mengecam semua yang melakukan unjuk rasa dan menentang pemerintah sebagai tindakan yang melanggar ajaran Islam dan memecah belah ummat.
Pada saat gencarnya seruan-seruan untuk melakukan demonstrasi di Saudi, pada 6 Maret 2011, Dewan Ulama Senior mengeluarkan fatwa menentang protes-protes yang dilakukan masyarakat. Isi fatwa tersebut menyatakan dukungan terhadap keamanan dan stabilitas di dalam kerajaan Arab Saudi yang merupakan kepimpinan yang sah, diakui dalam Islam, dan telah diridhoi oleh Allah SWT karena keteguhan penguasa untuk menjaga Islam dan dua kota suci. Oleh sebab itu, tidak ada yang mampu untuk memecah belahnya dari kelompok manapun, bahkan kelompok-kelompok asing (Al-Awsat, 2011).
Dewan Ulama Senior menyerukan kepada semua masyarakat untuk menjaga keutuhan dan kesatuan dalam masyarakat dan bersama-sama menentang segala yang bertentangan dengan hal tersebut, seperti ketidakadilan, penindasan, dan kebencian terhadap kebenaran. Ulama senior mengajak masyarakat untuk saling nasehat-menasehati, saling memahami dan bekerjasama dalam kebenaran dan kesalehan, serta mencegah dalam kejahatan dan kebencian. Selama penguasa Saudi masih berlandaskan al-Quran dan Sunnah maka wajib ditaati dan tidak boleh melakukan demonstrasi untuk menuntut perbaikan karena bisa menimbulkan kerusuhan dan perpecahan umat. Sikap ini, menurut fatwa tersebut, adalah bentuk dari ketaatan terhadap tradisi (mazhab) para pendahulu (salafus sholeh) dan para pengikut mereka dari dulu hingga sekarang. Fatwa ini diperkuat dengan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits Nabi, diantaranya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” (Al-Imran: 103).
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (Al-Imran: 105).
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (Al Ana’am 159).
Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Tangan Allah atas diatas jamaah (yadullahi ma`al jama`ah)” (H.R Tirmizi). Sabdanya lagi: “Barang siapa yang menarik ketaatan maka dia akan ketemu dengan Allah di hari kiamat tanpa hujjah, pembelaan. Dan barang siapa yang mati tanpa pernah berbai`at maka dia mati dalam keaadaan jahiliah (kebodohan)” (H.R. Muslim). “Barang siapa yang ingin memecah belah urusan ummat yang bersatu ini, maka kamu harus membunuhnya dengan pedang siapapun orangnya”. (H.R Muslim)
Fatwa ini kemudian diperintahkan untuk dicetak sebanyak 1,5 juta kopi untuk disebarkan ke masjid-masjid dan masyarakat, juga disebarkan lewat media-media online (The Guardian, 2011). Media-media lokal juga memuat fatwa tersebut untuk memperkuat dukungan terhadap penyebaran fatwa tersebut.
Dampak dari fatwa-fatwa yang dibuat oleh ulama tersebut mendeligitimasi segala demonstrasi yang dibuat oleh masyarakat Saudi dan memberikan legitimasi kepada pemerintah untuk mengendalikan suasana, baik secara represi, penahanan ataupun pembunuhan. Laporan Komisi HAM Islam (Commission of Islamic Human Right) tahun 2011 yang mengutip data pemerintah, menuliskan terdapat sekitar 5.000 tambahan tahanan politik di penjara-penjara Saudi. Sementara yang dicatat oleh para pengacara atau pakar hukum dan aktifis HAM, sekitar 7.000 orang tahanan politik telah menambah jumlah tahanan menjadi sekitar 30.000 orang di negara tersebut (IHRC, 2011: 11).
Sikap politik ulama di Dewan Ulama Senior dan Mufti bukan berarti menjadi representasi suara para ulama di Saudi. Terbukti, banyak ulama yang kritis terhadap pemerintah dan ikut mendukung reformasi di tubuh kerajaan Arab Saudi. Seperti, Salman al-Awdah, salah satu ikon Sahwa Islamiyah, ikut serta dalam petisi menuntut perubahan di Saudi. Tokoh ulama yang lain seperti Syekh Sulaiman al-Duwaish, menggunakan youtube untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap tidak Islami dan korup. Problem ini menurutnya, menjadi pemicu dari meningkatnya pembangkangan dan kerusuhan secara meluas di Masyarakat Saudi. al-Duwaish akhirnya ditahan oleh pemerintah bulan juni 2011. Ulama yang lain, Dr. Yusuf al- Ahmad, terkenal dengan fatwa kontroversialnya yang mengharamkan perempuan untuk bekerja sebagai pilot pesawat dan seruannya untuk membangun kembali masjid al-Haram di Makkah dengan konsep laki-laki dan perempuan terpisah. Dia mengunggah video ceramahnya di youtube yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, menuntut keadilan bagi para tahanan politik, dan mengecam penahanan massal yang dilakukan oleh pemerintah terhadap para demonstran laki-laki ataupun perempuan. Setelah tiga videonya diunggah di youtube, akhirnya dia ditahan tanggal 8 Juli 2011 (IHRC, 2011: 10).
Sa`ad al- Faqih menyatakan dalam tulisannya yang dimuat the Guardian, 2012, bahwa sudah sewajarnya terjadi pergolakan di internal kerajaan Saudi. Dia mengungkapkan fakta-fakta mengenai kondisi Saudi yang sudah terlampau buruk seperti ribuan tahanan politik yang kebanyakan ditahan tanpa melalui pengadilan, korupsi yang akut, pengangguran, dan kemiskinan. Namun revolusi tidak terjadi di Saudi diantara sebabnya adalah kuatnya pengaruh ulama dalam meredam semangat masyarakat untuk tidak memberontak (al-Faqih, 2012).
Melihat sikap ulama merespon benih-benih Arab Spring di Arab Saudi menjadi bukti klaim Madawi Rasheed dan pakar politik Saudi yang lain bahwa ulama di Arab Saudi cenderung hanya menjadi subordinasi pemerintah untuk kepentingan politik pemerintah. Kritikan berbagai kalangan seharusnya disikapi bijak oleh pemerintah Saudi, begitupun bagi ulama senior dan mufti. Bukannya disikapi dengan bijak, tapi keluar kecaman dan fatwa yang melegitimasi kekerasan yang dilakukan oleh aparat-aparat keamanan negara. Peristiwa ini sebenarnya sama dengan protes sejak Saudi berdiri, penyanderaan masjidil haram 1979, dan protes pasca Perang Teluk tahun 1990an. Di saat muncul kritik dari dalam, bukannya melakukan evaluasi dan memperbaiki kerusakan negara secara bersama-sama, pemerintah dan ulama tiba-tiba justru sangat reaktif dan kemudian terbit fatwa-fatwa yang membungkam berbagai kritik tersebut. Kalimat dari Juhayman al-Utaibi saat penyanderaan Masjidil Haram tahun 1979 rupanya masih bisa dianggap relevan saat ini, bahwa mufti dan ulama senior hanyalah alat manipulasi keluarga kerajaan yang korup (kechichian, 1986:59).
Kesimpulan
Di negeri Muslim, ulama memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika politik. Meskipun peran ulama berbeda saat kekuasaan Islam beberapa abad yang lalu dengan situasi sekarang dalam konteks negara bangsa, namun peran tradisional ulama sebagai benteng moral di masyarakat tetap tidak berubah. Posisi ulama di tengah masyarakat tersebut memiliki potensi politik yang sangat besar. Ulama bisa memberikan legitimasi terhadap pemerintah dan ikut mempertahankan stabilitas pemerintahan atau mendelegitimasi pemerintah dan memimpin revolusi.
Dalam konteks kerajaan Saudi, ulama dan pemerintah sejak ekspansi Saudi belum dimulai telah berikrar untuk saling mendukung satu sama lain. Hingga saat ini, ulama – di Dewan Ulama Senior dan Mufti – tetap setia memberikan dukungan terhadap pemerintah, terbukti dalam perjalanan panjang kerajaan, ulama mampu memberikan dukungan terhadap stabilitas negara melalui kekuatan fatwa yang dimilikinya. Bahkan di saat ada tokoh-tokoh ulama yang berdiri berseberangan dengan mufti, kekuatan fatwa akan membuat mereka menjadi bungkam. Dengan fatwa ulama senior, pemerintah bisa menghilangkan hak politik siapapun juga yang berpotensi merongrong stabilitas kerajaan. Kajian ini memberikan penegasan bahwa ulama merupakan aktor yang penting dalam hubungan internasional di negara-negara Muslim serta tidak boleh dipandang sebelah mata.
Daftar Pustaka
Commins, David. 2006. The Wahhabi Mission and Saudi Arabia. London: I.B.Tauris & Co Ltd
Feldman, Noah. 2008. The fall and rise of the Islamic state.New Jersey: Princeton University Press
Fox, Jonathan. 2009. Integrating religion into international relations theory dalam Jeffrey Haynes. Routledge Handbook of Religion and Politics. New York: Routledge
Fox, Jonathan &Shmuel Sandler. 2004. Bringing Religion into International Relations. New York: Palgrave Macmillan
Gibreel Gibreel. 2001. The Ulema: Middle Eastern Power Brokers. Middle East Quarterly. Volume VIII: Number 4, http://www.meforum.org/105/the-ulema-middle-eastern-power-brokers,diunduh 16/11/2015
Halliday, Fred. 2005. The Middle East in International Relations Power, Politics and Ideology. Cambridge: Cambridge University Press
Hatina, Meir. 2010. ʿUlamaʾ, Politics, and the Public Sphere: An Egyptian Perspective. Salt Lake City: The University of Utah Press
Hinnebusch, Raymond. 2003. The international politics of the Middle East. Manchester: Manchester University Press
Hurd, Elizabeth Shakman. 2008. The Politics of Secularism in International Relations. New Jersey: Princeton University Press
Ihrc . 2011. Saudi Arabia’s Political Prisoners: Towards a Third Decade of Silence 1990,
2000, 2010. Wembley: Islamic Human Rights Commission
Jones, Toby Craig. 2011. Saudi Arabia Versus the Arab Spring, Raritan: quarterly review
Kechichian, Joseph A. 1986. The Role of the Ulama in the Politics of an Islamic State: The Case of Saudi Arabia. International Journal of Middle East Studies, Vol. 18, No. 1
Rasheed, Madawi. 2007. Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. New York: Cambridge University Press
Wynbrandt, James. 2004. A brief history of Saudi Arabia. New York: Facts On File, Inc
Ritenour, Jared. 2014. The Wahhabi Ulama as a Force within Saudi Arabia: 1979-2013. http://www.nwmissouri.edu/library/owens/awards/2014/Ritenour.pdf , diunduh 17/11/2015
Ahmed Al Omran. 2013. Saudi Arabia: A new mobilisation, dalam ECFR. What does The gulf think about the arab Awakening?. London: European Council on Foreign Relations (ECFR)
Al-Otaibi, Abdullah. 2013. 30 stars join the Shura Council: Surprise decision admits women to institution for first time. http://www.aawsat.net/2013/01/article55239131c , diunduh 15/05/2013
Alsharif, Asma. 2012. Sin has led to Middle East unrest, says Saudi Arabia’s top cleric. http://blogs.reuters.com/faithworld/2012/05/07/sin-has-led-to-middle-east-unrest-says-saudiarabias-top-cleric/ diunduh 22/05/2013
Asharq al-Awsat. 2011. A fatwa from the Council of Senior Scholars in the Kingdom of Saudi Arabia warning against mass demonstrations Fatwa. http://islamopediaonline.org/fatwa/fatwacouncil-senior-scholars-kingdom-saudi-arabia-warning-against-mass-demonstrations, diunduh 22/05/2013
al-Faqih, Saad. 2012. Arabia awaits its spring. http://www.guardian.co.uk/commentisfree/2012/feb/27/saudi-arabia-protest-uprising-mujtahidd, diunduh 10/07/2013
Haykel, Bernard. 2011. Saudi Arabia vs. the Arab Spring. http://www.project syndicate.org/commentary/saudi-arabia-vs–the-arab-spring, diunduh 15/05/2013
Laessing, Ulf. 2011. Saudi top cleric blasts Arab, Egypt protests-paper.http://www.reuters.com/article/2011/02/05/egypt-saudi-idAFLDE71403F20110205, diunduh 22/05/2013
The Guardian. 2011. Saudi Arabia prints 1.5m copies of religious edict banning protests.http://www.guardian.co.uk/world/2011/mar/29/saudi-arabia-edict-banning-protests. Diunduh 15 Desember 2012
[author] [author_image timthumb=’on’]http://insiera.org/wp-content/uploads/2016/05/Hasbi.jpg[/author_image] [author_info]Hasbi Aswar, S.IP., M.A.adalah staf edukatif pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Psikologi dan ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Korespondensi melalui: hasbiaswar@uii.ac.id[/author]