Kebangkitan Perspektif Islam dalam Studi Hubungan Internasional Kontemporer

Abstract

Since its inception in 1919 from “the womb” of Western civilization, International Relations could not escape from the domination of Western empirical experiences, logics, cultures and worldviews. Islamic perspective as an alternative thought as well as analytical lens in contemporary International Relations appeared on the surface at the end of twenty century. However, the study of Islamic perspective in International Relations was actually started as early as the middle of the second century of Hijrah within the discipline of Siyar. Islamic perspective in International Relations contained unique principles and way of thinking differed from Western perspective tradition. This article showed how actually Islamic perspective had been applied in the study of relations among nations since Prophet Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam until contemporary Islamic scholars and Islamic law jurists’ era. Transformation trend of Islamic high learning institution at the end of President Susilo Bambang Yudhoyono government opened the gate for awakening of Islamic perspective application in International Relations in Indonesia. This was no wonder since the study of Islamic perspective in International Relations already had its own history, tradition, and basic philosophy.

Keywords: International Relations; Siyar; Western Perspectives; Islamic Perspective

Pengantar

Ilmu Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan dalam ranah sosial-politik terbilang masih muda usia jika dibanding dengan disiplin ilmu pengetahuan lain semisal Sosiologi atau Antropologi. Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), mencatat bahwa Ilmu Hubungan Internasional (International Relations) sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan berada di urutan teratas di bawah ranah ilmu politik dengan kode 5901 (“4-digit UNESCO,” 2015). Pengkategorian ini tentu tidak sepi dari perdebatan lantaran disiplin Ilmu Hubungan Internasional sendiri memang terlahir dengan berbagai perspektif filosofis dan kekhasan pendekatan yang multi-disipliner. Namun paling tidak, masyarakat internasional telah mengakui eksistensi disiplin ilmu ini dan mengkategorikannya sebagai “cabang” pertama dari disiplin ilmu politik.

Lahirnya disiplin Ilmu Hubungan Internasional tidak dapat dipisahkan dari hadirnya program studi International Politics di Universitas Aberystwyth, Wales, United Kingdom pada tahun 1919 (“BA International Politics,” 2015). Program studi ini menjadi cikal bakal dilakukannya kodifikasi Ilmu Hubungan Internasional seperti yang kita temui saat ini. Pada awal pendiriannya, kajian Hubungan Internasional di Universitas Aberystwyth didominasi oleh pembicaraan seputar perdamaian dan keamanan internasional. Sejarah melukiskan bahwa kehadiran program studi International Politics tersebut bertujuan untuk mempelajari dan menjaga perdamaian internasional pasca terjadinya Perang Dunia Pertama dimana episentrum konfliknya berada di wilayah Eropa. Burchil dan Linklater (2005) mengungkapkan, “The purpose of theory in the early years of the discipline was to change the world for the better by removing the blight of war” (hlm. 9).

Sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang terlahir dari “rahim” peradaban Barat, analisa dan teori-teori yang berkembang dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional tentu sarat dengan pengalaman empiris, logika, kebudayaan, dan pandangan hidup masyarakat Barat. Hal ini dapat dibuktikan misalnya dari pembahasan tentang genealogi disiplin ilmu ini. Pembahasan mengenai asal muasal kodifikasi Ilmu Hubungan Internasional senantiasa dihubungkan dengan tulisan sejarawan Romawi, Thucydides, dalam History of the Peloponnesian War yang dibuat sekitar abad keempat sebelum masehi (“History of the Peloponnesian War,” 2015). Bahkan hampir seluruh disiplin ilmu pengetahuan modern selalu dikait-kaitkan dengan kebudayaan Yunani-Romawi sebagai akar dari peradaban Barat. Padahal jika kita mau jujur, banyak peradaban lain telah ada sebelum peradaban Yunani-Romawi yang tak kalah hebat dan bahkan lebih canggih dari mereka.

Tulisan-tulisan mengenai hubungan antar bangsa sebenarnya tidak benar-benar diawali dari karya Thucydides yang terlanjur dinobatkan sebagai peletak dasar Ilmu Hubungan Internasional itu. Sebelum Thucydides menuliskan idenya dalam History of the Peloponnesian War, Sun Tsu, seorang Jendral militer, ahli strategi sekaligus filosuf Cina, pada abad kelima sebelum masehi telah menulis sebuah buku mengenai strategi militer yang terdiri dari tiga belas bab dan kemudian dikenal sebagai the Art of War (Sūnzĭ Bīngfǎ) (“The Art of War,” 2015). Di belahan bumi Hindustan, pada masa Raja Chandragupta sekitar abad ketiga sebelum masehi, Kautilya (dikenal juga sebagai Vishnugupta atau Chanakya), seorang guru dan penasehat kerajaan, telah mengarang sebuah buku yang berisi mengenai seni perundingan antar bangsa, permasalahan-permasalahan ekonomi-politik serta strategi militer dengan judul Arthasasthra (“Arthasasthra,” 2015). Jauh sebelum tulisan-tulisan di atas, pada sekitar tahun 2.250 sebelum masehi, Raja Hammurabi dari Babilonia telah merekam situasi hukum dan politik kerajaannya dalam sebuah kumpulan aturan hukum (codex) (Harper, 1904). Bahkan, analisa dari tulisan-tulisan hieroglyph di dinding-dinding piramida Mesir yang dapat dilacak hingga masa Naqada III pada sekitar tahun 3.200 sebelum masehi mengungkap telah terjadinya kompetisi antara raja-raja yang hidup di daerah Mesir pada zaman itu (“Naqada III,” 2015). Oleh karena itu, klaim bahwa Ilmu Hubungan Internasional pertama kali terkodifikasi oleh masyarakat Barat yang diawali dari karya Thucydides adalah klaim yang dipaksakan, ahistoris, dan cenderung menunjukkan adanya hegemoni dan kepentingan Barat dalam disiplin ilmu ini.

Tradisi berpikir, pendekatan dan teori yang berasal dari pengalaman empiris atau perspektif masyarakat Barat tampak mendominasi perbincangan akademis dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional saat ini. Fenomena hubungan internasional acapkali hanya dianalisa menggunakan teori-teori, metodologi, dan asumsi ontologis perspektif Barat. Hegemoni Barat dalam teori-teori Hubungan Internasional kontemporer tampak kasat mata dan sangat sulit dihindari. Kegelisahan ini banyak disadari oleh para penstudi Ilmu Hubungan Internasional, baik yang berasal dari Barat maupun non-Barat, intelektual Muslim maupun non-Muslim. Sebut saja Acharya dan Buzan (2010) yang telah melakukan riset, mengumpulkan tulisan-tulisan di jurnal, serta mengadakan konferensi mengenai dominasi perspektif Barat dalam teorisasi Ilmu Hubungan Internasional, hingga akhirnya semua itu direkam dengan baik dalam sebuah buku berjudul Non-Western International Relations Theory: Perspective on and beyond Asia.

Dengan meminjam logika Martin Wight, Acharya dan Buzan (2010) mengungkapkan bahwa sebenarnya teori-teori hubungan internasional non-Barat bukan tidak ada sama sekali. Namun, teori-teori itu masih “tersebar, tidak sistematis, dan sebagian besar tidak dapat diakses” (hlm. 1). Melalui buku Non-Western International Relations Theory, Acharya dan Buzan (2010) dengan lantang menyuarakan keinginan mereka untuk “memperkenalkan tradisi Ilmu Hubungan Internasional non-Barat kepada para pembaca di Barat dan menantang akademisi Ilmu Hubungan Internasional non-Barat untuk melawan dominasi teori-teori Barat” (hlm. 2). Keinginan untuk memperkenalkan perspektif non-Barat yang selama ini sulit diakses tersebut benar-benar terwujud melalui kontribusi para sarjana Ilmu Hubungan Internasional non-Barat dalam buku tersebut yang mampu memaparkan perspektif-perspektif non-Barat sesuai tempat dimana mereka berasal. Dengan standar akademik yang tinggi dan diterbitkan oleh penerbit ternama bereputasi internasional-Routledge-, buku tersebut minimal telah berhasil memperkenalkan teori-teori Ilmu Hubungan Internasional non-Barat, terutama yang berasal dari Cina, Jepang, Korea, India, Asia Tenggara, Indonesia, dan perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview).

Dalam sejarah ilmu pengetahuan, tradisi berpikir ummat Islam yang sangat rasionalis dan khas berbasis tauhid (monoteisme) terbukti mampu membawa kejayaan peradaban Islam selama berabad-abad lamanya. Sementara peradaban Barat berada pada kungkungan doktrinasi gereja yang membelenggu aktivitas akademis yang bertumpu pada rasionalitas dan empirisitas, peradaban Islam dengan pandangan alam berbasis tauhidnya telah berhasil menunjukkan tidak adanya kontradiksi antara kebenaran wahyu yang berasal langsung dari Tuhan dengan kebenaran empiris yang diperoleh melalui pengalaman inderawi dan akal manusia. Ummat Islam telah berhasil mengembangkan suatu budaya ilmu pengetahuan yang berkembang tanpa menafikan wahyu Tuhan. Tak heran, pandangan alam Islam yang demikian lantas melahirkan perspektif tersendiri ketika bersinggungan dengan tradisi berpikir (disiplin ilmu pengetahuan) yang dihasilkan oleh suatu kebudayaan manusia.

Dalam ranah disiplin Ilmu Hubungan Internasional kontemporer, tawaran perspektif Islam sebagai kacamata analisis dan tradisi berpikir yang telah terususun runtut atau terkodifikasi dengan cukup memadai mulai marak mengemuka di akhir abad keduapuluh. Pada tahun 1987, ‘Abdul Hamid A. Abu Sulayman menerbitkan sebuah buku berjudul the Islamic Theory of International Relations: New Directions for Islamic Methodology and Thought. Karya yang pada mulanya merupakan disertasi doktoral Abu Sulayman di Univeristas Pennsylvania tersebut mengundang antusiasme yang luar biasa dari para pembaca sehingga diterbitkan lebih luas oleh the International Institute of Islamic Thought (IIIT) Virginia bekerjasama dengan International Islamic Publishing House (IIPH) Riyadh dan diberi judul baru Towards an Islamic Theory of International Relations: New Directions for Methodology and Thought (Abu Sulayman, 1993).

Seolah memahami tren yang sedang terjadi, para penerbit dari dunia Islam lantas mencoba menggali dan mencetak ulang buku-buku dengan tema hubungan internasional yang telah dikarang oleh para sarjana atau ulama-ulama Islam baik di masa lampau maupun kontemporer. Pada tahun 1995, penerbit Darul Fikr al-‘Arabi Mesir menerbitkan tulisan ulama Al Azhar terkemuka abad keduapuluh, Muhammad Abu Zahrah (1995), dengan judul Al-‘Alaqah Ad-Dauliyyah Fil Islam atau “Hubungan Internasional dalam Islam.” Selanjutnya pada tahun 1998, peneribit Islamic Research Institute dari International Islamic University Islamabad Pakistan menerbitkan buku berjudul The Shorter Book on Muslim International Law yang merupakan terjemahan dari karya ulama klasik Muhammad Ibn Hasan As-Syaibani berjudul Kitab Siyarus Saghir (Al-Shaybani, 1998). As-Syaibani, yang dijuluki sebagai Bapak Hukum Internasional Muslim, adalah murid dari Imam Abu Hanifah, peletak dasar Madzhab Hanafi (“Muhammad al-Shaybani,” 2015). Ia adalah intelektual Muslim yang tercatat pertamakali memperbincangkan hubungan internasional secara sistematis dan mengkodifikasi hukum internasional dalam perspektif Islam melalui dua bukunya yang sangat fenomenal, Kitab Siyarul Kabir dan Kitab Siyarus Saghir.

Pembahasan mengenai Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam jelas bukan barang baru “kemarin sore.” Meski perbincangan mengenai teori dan metodologi Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam baru hangat diperbincangkan masyarakat epistemis pada akhir abad keduapuluh, namun Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam sejatinya telah terkodifikasi jauh sebelum Barat memperkenalkan Ilmu Hubungan Internasional sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri pada tahun 1919. Dalam tradisi ilmu pengetahuan di dunia Islam, kajian mengenai hubungan internasional telah menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang disebut oleh para ulama fikih sebagai Siyar. Mahmood Ahmad Ghazi menyatakan bahwa Siyar telah menjadi disiplin ilmu pengetahuan resmi di dunia Islam pada awal pertengahan abad kedua Hijriah, “… the field of Muslim International Law or Siyar which was developed by Muslim jurist as an independent legal discipline as early as the middle of the second century of Hijrah” (Al-Shaybani, 1998, hlm. xv).

Artikel ini hendak melihat kemungkinan dilakukannya pengkajian Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam di tengah dominasi perspektif-perspektif Barat. Karena bagaimanapun, jauh sebelum Barat mengkodifikasi Ilmu Hubungan Internasional, peradaban Islam telah melahirkan disiplin ilmu Siyar dengan para ulama, pemikir, sekaligus cendekiawan yang ahli di bidang ini, semisal Muhammad Ibn Hasan As-Syaibani, Muhammad Ibn Idris As-Syafi’i, Abul Hasan Al-Mawardi, Abu Hamid Al-Ghazali, dan Ibnu Taimiyyah (Abu Sulayman, 1993, hlm. 17). Lantas, apa yang menjadi landasan berpikir (asumsi ontologis, epistemologis, dan aksiologis) perspektif Islam tersebut? Apa yang menjadi kekhasan dan membedakannya dengan perspektif Barat dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional saat ini? Bagaimana penerapan perspektif Islam secara metodologis dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional saat ini? Dan bagaimana kemungkinan penerapannya dalam program studi ilmu ini di perguruan tinggi di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab secara ringkas dalam pemaparan selanjutnya.

Landasan Berpikir Ilmu Hubungan Internasional Perspektif Islam

Ilmu Hubungan Internasional saat ini berkembang dengan berbagai perspektif atau paradigma sesuai dengan argumentasi filosofisnya. Hal ini menjadikan Ilmu Hubungan Internasional sebagai suatu disiplin keilmuan yang unik karena berbagai asumsi paradigmatik dapat hadir secara bersamaan untuk saling bersaing, berdebat, dan bertarung satu sama lain demi membuktikan kebenaran ilmiah masing-masing. Tidak ada asumsi ontologis dan metodologi pasti yang menjadi rujukan serta disepakati semua pakar atau sarjana. Suatu fenomena tunggal dapat dianalisa menggunakan berbagai macam paradigma dan seluruh analisa tersebut absah dilakukan. Para pakar dan ahli melukiskan Ilmu Hubungan Internasional saat ini sebagai suatu disiplin keilmuan yang berakhir dengan ketidaksepakatan. Mohtar Mas’oed (1994) menegaskan, “tema umum teorisasi dalam Ilmu Hubungan Internasional dewasa ini adalah keanekaragaman dan ketidaksepakatan” (hlm. 12). Pendek kata, para penstudi disiplin ilmu ini bersepakat untuk tidak bersepakat.

Perdebatan paradigmatik dalam Ilmu Hubungan Internasional dapat dijelaskan dengan apik menggunakan argumentasi Thomas S. Kuhn dalam karya fenomenalnya, the Structure of Scientific Revolution. Kuhn (1996) menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan berkembang dan bergerak dalam suatu rute menuju kedewasaannya (matured sciences). Ilmu pengetahuan yang sudah matang atau dewasa mencapai suatu kondisi dimana tidak seorangpun dapat berkompetisi terhadap model aktivitas ilmiah yang sudah diyakini. Ilmu pengetahuan tersebut dalam kondisi telah meninggalkan seluruh permasalahan yang dapat didefinisikan ulang dan diselesaikan oleh komunitas ilmiahnya. Tahap pencapaian ilmiah dengan dua karakteristik seperti ini menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘paradigma’, sebuah istilah yang sangat terkait dengan ‘normal sciences’ (hlm. 10). Bagi Kuhn, ilmu pengetahuan merupakan hasil dari kesepakatan komunitas epistemis yang ia sebut sebagai normal sciences. Manakala normal sciences tersebut mendapat kritikan dan mengalami anomaly atau tidak mampu memberikan penjelasan dengan memuaskan, maka terjadilah kegoncangan dan revolusi intelektual yang menghasilkan ilmu pengetahuan dengan paradigma baru yang berbeda dari ilmu pengetahuan dengan paradigma sebelumnya. Ilmu pengetahuan dengan paradigma baru tersebut lantas terus bergerak menuju rute normal sciences dan bersiap untuk menghadapi kritik selanjutnya, demikian seterusnya.

Dalam Ilmu Hubungan Internasional, aneka perspektif lahir dari proses intelektual mirip seperti yang dijelaskan oleh Kuhn. Adakalanya suatu perspektif mendapat sambutan luar biasa dari penstudi Ilmu Hubungan Internasional dan menjadi tren analisa di masanya. Namun tatkala perspektif tersebut mendapatkan tantangan intelektual serius yang tidak mampu dijawab dengan memuaskan, maka terlahirlah perspektif baru yang berbeda dari perspektif sebelumnya. Perspektif-perspektif tersebut pada akhirnya secara bersamaan berkembang, saling mengkritisi, dan berebut untuk mendapatkan pengikut atau group of adherents.

Jika dilihat di permukaan saja, kontestasi paradigmatik dalam Ilmu Hubungan Internasional dewasa ini ternyata masih tetap didominasi oleh perspektif-perspektif Barat. Idealisme atau liberalisme klasik adalah perspektif dominan yang muncul bersamaan dengan kelahiran Ilmu Hubungan Internasional pada akhir Perang Dunia Pertama. Idealisme kemudian mendapatkan tantangan dari realisme. Realisme sendiri lantas berdebat seru dengan neo-realisme. Dari kawasan Britania Raya, English school muncul sebagai tradisi berpikir baru yang mencoba keluar dari perdebatan klasik antara idealisme versus realisme sembari memfokuskan analisa pada perilaku masyarakat internasional secara kolektif. Sementara itu, neo-liberalisme hadir dan mampu menjelaskan fenomena internasional massif di pertengahan abad keduapuluh yakni globalisasi dan regionalisme. Namun neo-liberalisme berjuang dengan sangat keras untuk menghadapi kritik habis-habisan dari marxisme. Perdebatan bahkan berlangsung lebih seru dengan kehadiran tradisi post-positivis yang mampu menjungkir-balikkan asumsi-asumsi filosofis perspektif-perspektif sebelumnya yang sangat positivis. Lahirlah teori-teori kritis, feminisme, green politics, hingga perspektif post-modernisme yang berakar dari tradisi ontologis skeptisisme. Ada pula perspektif konstruktivisme yang mencoba mendamaikan perdebatan antara positivisme dengan post-positivisme dan berdiri di antara keduanya. Perlu dicatat di sini, bahwa seluruh perspektif yang saling berhadap-hadapan dan berkontestasi tersebut lahir dari pengalaman empiris dan cara pandang masyarakat Barat.

Perspektif Islam yang mulai marak diperbincangkan di akhir abad keduapuluh, berada di luar perspektif-perspektif Barat yang menjadi mainstream dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional kontemporer tadi. Perspektif Islam berasal dari cara pandang (worldview) ajaran Islam yang khas dan berbeda dari cara pandang Barat. Dalam kajian ontologis, perspektif Islam meyakini bahwa realitas dapat berwujud fisik (‘alam as-syahadah) dan metafisik (‘alam al-ghaib). Sementara perspektif-perspektif Barat terbangun dari tradisi rasionalisme-empirisisme yang sekali-kali tidak akan meyakini realitas metafisik sebagai basis argumentasi keilmuan mereka. Dalam konteks hubungan internasional misalnya, Islam meyakini bahwa musuh abadi bagi seluruh bangsa dan peradaban ummat manusia di dunia ini adalah iblis dan balatentaranya dari kalangan jin dan manusia (Al-Qur’an, 7: 22, 114:1-6). Pasukan kaum Muslimin yang berperang di atas jalan kebenaran, bahkan diyakini akan dibantu oleh para malaikat yang langsung turun dari langit (Al-Qur’an, 3:124). Iblis, jin, malaikat dan bahkan Allah Subhanahu Wata’ala adalah realitas metafisik yang diyakini eksistensinya dalam perspektif Islam. Namun bagi perspektif Barat, bahasan metafisik semacam itu sudah sejak lama diceraikan pengkajiannya dari dunia akademik mereka. Proyek sekularisasi di dunia pendidikan Barat yang sudah terjadi sejak abad pertengahan-masa rennaissance-, telah menghasilkan ilmu pengetahuan dengan corak ontologis yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisisme semata.

Dari sisi epistemologis, perspektif Islam meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu pengetahuan yang sangat penting. Pengakuan terhadap otoritas wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan mendapatkan posisi sentral dan menjadi kunci pembeda antara perspektif Islam dengan perspektif Barat. Namun demikian, bukan berarti perspektif Islam menafikan sumber-sumber ilmu pengetahuan lainnya. Perspektif Islam mendapatkan pengetahuan dari sumber-sumber Al-Qur’an, Hadits, akal (‘aql) dan kalbu (qalb), serta indera (Kania, 2013, hlm. 92-109). Perspektif Islam menggabungkan antara epistemologi rasionalis-empiris dengan epistemologi berbasis wahyu yang langsung diturunkan Allah melalui para nabi dan rasul-Nya. Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam terdiri dari dua macam: ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu (revealed knowledge) serta ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian berbasis rasio-empiris (acquired knowledge). Kedua macam ilmu pengetahuan tersebut adalah benar, tidak mungkin bertentangan, dan semuanya berasal dari Allah (“Theory: Secular and Religious Knowledge,” 2014, waktu 0:07:35).

Bagan Ilmu
Gambar 1. Jenis Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Islam. Sumber: Bilal Philips. (14 November 2014). “Theory: Secular and Religious Knowledge.” [YouTube]. Lesson Plan Islamization – Session 1. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=0_oehna6rKQ
Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam tentu dijalankan dengan menggunakan metodologi berbasis epistemologi ilmu pengetahuan Islam. Analisa ilmiah dalam perspektif Islam senantiasa dilakukan berdasarkan argumentasi wahyu (dalil syar’i) dan argumentasi rasio-empiris (dalil ‘aqli). Dengan perspektif Islam, teori-teori yang didapatkan bukan hanya akan lebih komprehensif dan berkualitas, namun dalam beberapa hal teori-teori tersebut bahkan mampu mencapai derajat kebenaran mutlak atau aksiomatis yang tidak akan bisa disangkal oleh siapapun. Jika ilmu pengetahuan tersebut diperoleh dari wahyu yang bersifat pasti (qath’i tsubut qath’i dalalah) maka kebenaran yang didapatkan akan pula bersifat pasti, misalnya aksioma mengenai setiap manusia yang pasti akan mengalami kematian (Al-Qur’an, 4:78), adanya usia bagi suatu bangsa atau generasi (Al-Qur’an, 6:6), kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia (Al-Qur’an, 30:1-4), hingga masa depan dunia yang akan mengalami kehancuran atau kiamat (Al-Qur’an, 16:1, 18:21). Kebenaran-kebenaran yang bersifat pasti merupakan derajat keilmiahan tertinggi yang didamba oleh setiap disiplin ilmu pengetahuan. Dengan demikian, aplikasi perspektif Islam dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional akan meningkatkan kualitas atau derajat keilmiahan Ilmu Hubungan Internasional itu sendiri.

Dalam kajian aksiologis, perspektif Barat pada umumnya memahami ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bebas nilai (value neutral), yakni tidak ada hubungannya sama sekali dengan nilai kemanusiaan dan peradaban yang menghasilkannya. Kebenaran ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan berlaku universal. Perspektif yang demikian biasa disebut sebagai positivisme. Namun, pada abad keduapuluh lahirlah gagasan mengenai sosiologi ilmu (sociology of knowledge). Gagasan yang kemudian dikenal sebagai post-positivisme ini dibawa oleh tokoh-tokoh seperti Max Scheler, Karl Mannheim, Thomas Kuhn dan Paul Feyerebend. Mereka meyakini bahwa sifat ilmu pengetahuan adalah nisbi atau relatif, bukan universal. Kebenaran ilmiah di suatu waktu dan tempat, tidak lantas menjadi benar di waktu dan tempat yang lain (Wan Daud, 2007, hlm. 67). Dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional saat ini, kedua macam perspektif untuk memahami kaitan antara nilai dan ilmu pengetahuan, baik positivisme maupun post-positivisme, absah diyakini dan semua mendapatkan tempat di atas mimbar akademik.

Sementara menurut perspektif Islam, ilmu pengetahuan itu meski tidak bebas nilai namun bukan pula bersifat nisbi atau relatif. Para pemikir dan ilmuwan Islam selalu berusaha mengintegrasikan gagasan-gagasan besar dari peradaban lain dengan ajaran Islam. Para filosof Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, berusaha memasukkan ajaran Islam, seperti konsep malaikat, nabi, dan pembalasan di akherat, dalam filsafat mereka yang banyak diperoleh dari filsafat Yunani (Wan Daud, 2007, hlm. 67). Jadi, perspektif Islam mengakui bahwa ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan harus dimanfaatkan sesuai dengan tujuan hakiki keberadaan manusia di dunia ini dan ajaran Islam hadir di dunia untuk membimbing manusia meniti jalan menuju tujuan hakiki dalam kehidupannya itu.

Kebudayaan Barat menggunakan ilmu pengetahuan dengan tujuan untuk menguasai alam demi maslahat atau kemanfaatan bagi manusia. Padahal nilai kemanfaatan tersebut tentu yang menentukan adalah diri manusia berdasar pada tujuan hidupnya. Berbeda dengan perspektif Barat yang nihil membicarakan perihal tujuan hidup, perspektif Islam menetapkan tujuan hidup manusia sesuai dengan akhlak dan budipekerti yang diajarkan olehnya (Al-Attas, 2001, hlm. 42). Islam menentukan tujuan hidup manusia di dunia ini dengan sangat gamblang, yakni untuk beribadah kepada Allah,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Al-Qur’an, 51:56). Dengan demikian, segala aktivitas manusia, termasuk kegiatan olah pikir atau intelektual, semuanya haruslah bernilai ibadah, yakni dalam rangka mengabdi kepada Allah.

Dalam perspektif Islam, seluruh aktivitas pengkajian ilmu pengetahuan atau menuntut ilmu adalah untuk menghasilkan, membina dan membentuk manusia yang sempurna (Al-Attas, 2001, hlm. 41). Manusia sempurna adalah sosok manusia yang memahami hakekat keberadaannya di muka bumi ini, yakni untuk beribadah kepada Allah. Semakin bertambah ilmunya, semakin ia mengenal Tuhan yang ia sembah, maka akan semakin bertambah pula perasaan takjub dan takut kepadaNya. Oleh karena itu, indikator konkret dari kemanfaataan suatu ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam adalah tatkala ilmu pengetahuan tersebut semakin menambah rasa takut manusia kepada Tuhan yang ia sembah,

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (Al-Qur’an, 35:28).
Jadi, kemanfaatan suatu kajian ilmiah bukan sebatas dilihat secara akademik dan praktis, namun juga harus diperoleh kemanfaatannya secara religius. Kemanfaatan akademik adalah bagaimana kajian yang dilakukan dapat menambah pemahaman teoritis akan suatu permasalahan. Sedangkan kemanfaatan praktis adalah bagaimana kajian yang dilakukan dapat memberi dampak konkret dalam kehidupan sehari-hari. Adapun kemanfaatan religius berarti bagaimana kajian tersebut dapat menambah pemahaman akan kebesaran, keluasan ilmu, serta kemahakuasaan Allah yang akan menambah rasa takut (khasyah) seorang hamba kepada Tuhan yang ia sembah.

Aplikasi Perspektif Islam dalam Kajian Ilmu Hubungan Internasional

Kajian Ilmu Hubungan Internasional berdasar perspektif Islam sebenarnya telah dilakukan oleh pembawa risalah Islam sendiri, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sebagai seorang manusia biasa (Al-Qur’an, 18:110, 6:50), Nabi pernah beberapa kali melakukan analisa terkait peristiwa-peristiwa hubungan internasional yang terjadi pada masa beliau demi kemaslahatan kaum Muslimin.

Berdasar wahyu yang turun kepada beliau, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan hijrah (eksodus) ke negeri Habasyah (Ethiopia). Rasul meyakini betul bahwa raja negeri Habasyah, Najasyi, adalah seorang yang adil dan karenanya akan melindungi orang-orang terzalimi yang meminta suaka politik kepadanya. Rasul bersabda, “Sesungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang tak seorangpun yang dizalimi di sisinya, pergilah ke negerinya, hingga Allah membukakan jalan keluar bagi kalian dan penyelesaian atas peristiwa yang menimpa kalian” (Al-Umuri, 2010, hlm. 173). Lantas, eksodus beberapa kaum Muslimin dari Mekkah menuju negeri Habasyah terjadi dalam dua gelombang. Orang-orang Muslim yang mengalami diskriminasi dan kekerasan karena menjalankan ajaran agamanya di Mekkah akhirnya menerima suaka politik dari kerajaan Habasyah.

Pada kesempatan lain, tersiar kabar kekalahan kerajaan Romawi Timur (Bizantium) dari kerajaan Persia pada peperangan sekitar tahun 615 masehi. Orang-orang kafir Qurays di Mekkah menyambut gembira karena berpihak kepada bangsa Persia yang sama-sama menyembah berhala. Sebaliknya, kaum Muslimin berduka cita karena berpihak kepada bangsa Romawi yang beragama Nasrani dan memiliki kitab suci dari Allah, sama seperti mereka. Pada situasi demikian, turunlah wahyu yang memberikan informasi mengenai kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia dalam waktu dekat,

الم .غُلِبَتِ الرُّومُ . فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ . فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ

1. Alif laam Miim, 2. Telah dikalahkan bangsa Romawi, 3. Di negeri yang terdekat (Syria dan Palestina) dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, 4. Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman (Al-Qur’an, 30:1-4).

Ayat tersebut secara gamblang memberi pengetahuan mengenai situasi politik internasional waktu itu. Berdasar ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu Allah tersebut, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta segenap kaum Muslimin berkeyakinan penuh bahwa bangsa Romawi yang kalah dalam pertempuran pada tahun 615 masehi, kelak akan mendapatkan kemenangan atas bangsa Persia. Kajian berdasar wahyu tersebut akhirnya terbukti tepat dan akurat. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tujuh tahun setelah kekalahannya, kerajaan Romawi berhasil mengalahkan Persia pada tahun 622 masehi dan merebut kembali Syam dan Palestina dari tangan Persia. Analisa Rasul berdasar wahyu atas kondisi politik internasional pada waktu itu terbukti sangat akurat dan pada akhirnya semuanya benar-benar terjadi.

Perspektif Islam dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional memiliki metodologi yang khas dengan senantiasa menggabungkan argumentasi wahyu (dalil syar’i/ revealed knowledge) dan argumentasi rasio-empiris (dalil ‘aqli/ acquired knowledge). Metodologi yang demikian sangat anggun diaplikasikan dalam kajian yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun pada abad pertengahan. Salah satu hasil kajiannya yang sangat fenomenal adalah teori mengenai ‘ashabiyyah atau solidaritas kelompok. Ibnu Khaldun melakukan teorisasi dengan mengintegrasikan argumentasi rasio-empiris dan dalil-dalil wahyu.

Ibnu Khaldun mendasarkan argumentasinya dengan mengambil data yang berasal dari ayat Al-Qur’an, yakni kisah mengenai saudara-saudara Nabi Yusuf ketika mengatakan kepada ayah mereka,

قَالُوا لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَخَاسِرُونَ

“Mereka berkata, ‘Jika dia dimakan serigala padahal kami segolongan (‘ushbah), sungguh kami orang-orang yang merugi’” (Al-Qur’an, 12:14). Dari ayat ini, Ibnu Khaldun menganalisa secara rasional bahwa dengan adanya perasaan segolongan (‘ashabiyyah), tidak mungkin terbesit dalam diri seseorang untuk memusuhi sesamanya. Orang-orang yang segolongan cenderung berkelompok, bertahan bersama, saling melindungi, dan mencurahkan kasih sayang di antara mereka. Ibnu Khaldun lantas berkesimpulan, “Jika hal ini benar dan berlaku untuk tempat dimana seseorang hidup, yang memerlukan pertahanan dan perlindungan, maka tentu hal itu akan benar pula dan berlaku untuk setiap kegiatan manusia lainnya, seperti kenabian, membangun kerajaan atau dakwah” (Muhammad bin Khaldun, 2011, hlm. 190-191).

Ketika menjelaskan bahwa ‘ashabiyyah tidak hanya bisa diperoleh melalui garis keturunan, Ibnu Khaldun berargumentasi dengan menggunakan pendekatan empiris. Menurut Ibnu Khaldun (2011), seseorang dari suatu garis keturunan akan menjadi bagian dari garis keturunan yang lain disebabkan oleh kedekatan dengan orang-orang pada garis keturunan yang lain itu. Bisa juga karena dia loyal, melakukan koalisi, dan meminta suaka kepada mereka. Karenanya, dia tidak segan-segan mengklaim sebagai bagian dari garis keturunan dan merasa menjadi bagian dari mereka sehingga ikut merasakan kebanggaan, kepemimpinan, dan memperoleh hak serta kewajiban yang sama dengan mereka (hlm. 197). Bukti empiris dari teori tersebut adalah peristiwa Arjafah bin Hartsamah yang hendak diangkat menjadi gubernur di daerah Bani Bajilah oleh Khalifah Umar Ibn Khattab. Kaum Bani Bajilah meminta Khalifah Umar mencopot Arjafah karena sebenarnya ia bukan berasal dari kalangan Bani Bajilah. Mereka berkata, ‘Dia berada di antara kami karena menyusup’. Ibnu Khaldun berkata, “Perhatikan kisah ini, bagaimana garis keturunan Arjafah bin Hartsamah bercampur dengan bani Bajilah. Dia sempat mengenakan baju kebesaran mereka dan dipanggil dengan nasab mereka, hingga menjadi kandidat gubernur atas mereka” (hlm. 198).

Pendekatan dalil ‘aqli atau rasio-empiris kerap digunakan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Dengan menggunakan argumentasi empiris, Ibnu Khaldun (2011) membagi kawasan di dunia ke dalam tujuh iklim, kemudian merinci kondisi-kondisi geografisnya, hingga menyimpulkan bahwa belahan bumi bagian utara lebih makmur daripada selatan (hlm. 81-123). Sebuah teori yang pada abad ke-21 terbukti dengan terpolarisasinya konstelasi ekonomi-politik global berdasar kewilayahan seperti adanya kerjasama Utara-Utara dan kerjasama Selatan-Selatan. Dengan demikian, aplikasi perspektif Islam dalam teorisasi Ilmu Hubungan Internasional seperti yang dikaji oleh Ibnu Khaldun tidak hanya mampu menghasilkan teori dan penjelasan yang memuaskan, namun juga memiliki relevansi yang bahkan dapat melampaui zamannya.

Kajian Ilmu Hubungan Internasional Perspektif Islam di Indonesia

Pembahasan sebelumnya telah memberikan pengetahuan, pemahaman dan bukti bahwa disiplin Ilmu Hubungan Internasional telah ada dalam tradisi intelektual peradaban Islam sejak abad kedua hijriah atau abad kesembilan masehi. Bahkan, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai pembawa ajaran Islam ke muka bumi ini telah melakukan kajian hubungan internasional berdasar wahyu dan pertimbangan-pertimbangan rasio-empiris sesuai situasi pada zaman beliau.
Terkodifikasinya disiplin Ilmu Hubungan Internasional oleh Barat hingga tersaji seperti sekarang ini jelas memberi dampak pada dominasi perspektif Barat dalam kajiannya. Oleh karena itu, para ilmuwan Muslim dituntut dan ditantang untuk menghadirkan perspektif Islam sebagai perspektif alternatif ke dalam disiplin ilmu ini. Para ilmuwan di negara-negara Muslim (Islamic World), tak terkecuali di Indonesia, ditantang untuk melakukan kajian Ilmu Hubungan Internasional berdasar perspektif Islam yang selama ini belum banyak mewarnai wacana intelektual disiplin ilmu ini.

Kajian Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam sudah selayaknya mendapat tempat di atas mimbar akademik di Indonesia. Selain karena ajaran Islam telah melekat dengan kebudayaan Indonesia dan dipeluk oleh mayoritas penduduknya, harus diakui pula bahwa kemerdekaan Indonesia terlahir dari pemaknaan yang tepat akan konsep jihad-suatu istilah yang berasal dari kajian Siyar atau disiplin Ilmu Hubungan Internasional dalam Islam-. Persitiwa bersejarah peperangan akbar pada 10 November 1945 di Surabaya yang lantas dikenal sebagai Hari Pahlawan, dimotori oleh fatwa dan resolusi jihad yang dikeluarkan oleh para ulama waktu itu (Niam, 2015). Dengan demikian, tampak bahwa kajian Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam telah berkontribusi nyata dan signifikan dalam berdirinya negara Indonesia di dunia ini.

Pengaruh kajian Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam tidak hanya tampak lewat aplikasi konsep jihad. Sukarno, sebagai pendiri bangsa (founding father), disinyalir kuat mendapatkan inspirasi dari konsep ‘ashabiyyah ketika merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, di hadapan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan), dalam sebuah pidato spontan tanpa teks, Sukarno menawarkan nama “Pancasila” sebagai dasar negara Indonesia. Kelima sila tersebut adalah: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan (“Pancasila,” 2015). Dalam kesempatan tersebut, Sukarno juga menawarkan “Trisila” sebagai alternatif sekaligus saripati dari “Pancasila,” yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokratis, dan ketuhanan. Trisila tadi selanjutnya bisa diperas lagi menjadi “Ekasila,” yaitu gotong-royong (“Rumusan-rumusan Pancasila,” 2015).

Sukarno dengan sangat jeli menawarkan gagasan gotong-royong sebagai representasi tunggal semangat kebangsaan di Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015) memberikan definisi gotong-royong sebagai bekerja bersama-sama, tolong-menolong, dan bantu-membantu. Jadi, gotong-royong adalah semangat saling membantu karena merasa berada dalam satu kelompok. Gagasan ini jelas bertalian erat dengan konsep ‘ashabiyyah yang berintikan pada semangat ikatan darah (kebangsaan) dan solidaritas kelompok (in-group feeling) yang kuat. Ibnu Khaldun (2011) memberikan komentar terhadap sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berbunyi,

تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ

“Kenalilah dari nasab-nasab kalian apa yang dapat kalian gunakan untuk menyambung tali kekeluargaan kalian.” Ia berkata, “Hadits ini berarti bahwa sesungguhnya manfaat nasab itu adalah kedekatan yang mengharuskan adanya ikatan kekeluargaan sehingga timbullah sikap tolong-menolong dan kelompok yang kuat” (hlm. 193). Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa yang paling penting dan harus dimiliki oleh suatu negara adalah ‘ashabiyyah (solidaritas kelompok), bukan solidaritas berdasar ikatan keagamaan. Sebaliknya, dakwah keagamaan hanya dapat berdiri kokoh dengan ditopang oleh pilar ‘ashabiyyah. Bahkan, setiap utusan Tuhan membutuhkan ‘ashabiyyah untuk menjalankan misinya, sebagaimana dalam sebuah hadits shahih disebutkan, ‘Allah tidak mengutus seorang Nabi pun kecuali mendapat perlindungan dari kaumnya’ (Muhammad bin Khaldun, 2011, hlm. 266 – 270). Jadi, sila ketuhanan bukanlah saripati pokok dari Pancasila, melainkan gotong-royong, yakni perasaan senasib dan sepenanggungan yang melahirkan sikap tolong-menolong antar sesama anak bangsa. Di sini terlihat jelas bahwa konsep gotong-royong merupakan ‘ashabiyyah yang telah diterjemahkan dalam konteks Indonesia oleh Sukarno. Hal ini tidaklah mengherankan, karena Sukarno adalah santri sekaligus menantu dari H.O.S. Cokroaminoto yang merupakan tokoh politik, seorang ulama kenamaan, dan pendiri organisasi sosial politik pertama di Indonesia, Syarikat Islam (“Oemar Said Tjokroaminoto,” 2015).

Beberapa konsep dalam kajian Siyar atau Ilmu Hubungan Internasional perspektif Islam telah meninggalkan jejak nyata dan kemanfaatan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Namun saat ini jarang sekali ditemukan pembahasan mengenai perspektif Islam dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional kontemporer di Indonesia. Disiplin Ilmu Hubungan Internasional mulai diperkenalkan di Indonesia sejak berdirnya Jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Hukum, Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada pada tahun 1950. Pada awal pendirian jurusan ini, tidak banyak diketahui mengenai kurikulum dan agenda risetnya, kecuali didirikan sekedar untuk memenuhi kebutuhan birokrat dan staf administratif pemerintah Indonesia yang baru lahir pada saat itu, terutama dalam bidang hubungan internasional (Acharya, 2010, hlm. 163). Sejak tahun 1950 hingga sekarang, sangat jarang ditemukan pembahasan mengenai perspektif Islam dalam memandang hubungan antar bangsa. Masih jarang ditemukan teks-teks perkuliahan pada program studi Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia yang menyajikan Islam sebagai sebuah agama yang memiliki cara pandang (worldview) khas terhadap hubungan antar bangsa.

Kajian mengenai perspektif Islam dalam Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia memiliki momentum kebangkitan tatkala pada akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terjadi gelombang alih status perguruan tinggi keagamaan Islam. Banyak Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) berubah status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan banyak pula IAIN berubah status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Konsekuensi dari alih status tersebut adalah perguruan tinggi berbasis keagamaan Islam harus membuka fakultas-fakultas baru dengan menawarkan program studi ilmu-ilmu umum.

Peningkatan status perguruan tinggi keagamaan Islam tersebut dimaksudkan supaya bisa menghidupkan kembali tradisi pendidikan di Indonesia yang tak lepas dari ilmu ketauhidan, yakni ilmu ketuhanan. Wakil Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menegaskan bahwa bangsa Indonesia harus bisa bercermin kepada ilmuwan-ilmuwan Islam zaman terdahulu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Mereka adalah para ahli di bidangnya, namun tetap kembali kepada Sang Pencipta (“Wamenag,” 2016). Tampak jelas maksud dari pemerintah di sini bahwa ilmu pengetahuan sudah selayaknya dikembangkan sesuai jati diri bangsa Indonesia yang berketuhanan. Dengan demikian, pengembangan ilmu-ilmu umum yang ada di perguruan tinggi keagamaan Islam harus mengikuti perspektif Islam. Hal ini secara gamblang disampaikan oleh Gubernur Aceh, Zaini Abdullah, saat peresmian alih status IAIN Ar-Raniry Aceh menjadi UIN, “Kalau dulu, IAIN cenderung menghasilkan alumni untuk menjadi pegawai negeri atau menjadi ulama, kini kampus UIN ini akan bisa menghasilkan para sarjana dalam bidang studi umum, tapi dengan perspektif Islam” (“Wamenag,” 2016).

Pengembangan ilmu-ilmu umum dengan perspektif Islam secara luas di perguruan tinggi keagamaan Islam tentu membuka peluang yang cukup luas bagi berkembangnya pengkajian Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam di Indonesia. Saat ini terdapat delapan perguruan tinggi keagamaan Islam di Indonesia yang telah mendapatkan akreditasi dalam pengelolaan program studi Ilmu Hubungan Internasional, yakni: Universitas Abdurrab, Pekanbaru; Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta; Universitas Al-Ghifari, Bandung; Universitas Darul `Ulum, Jombang; Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Universitas Muhammadiyah Malang; Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; dan Universitas Wahid Hasyim, Semarang (“Hasil Pencarian Akreditasi,” 2016). Jumlah tersebut diperkirakan masih akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya tren alih status perguruan tinggi keagamaan Islam menjadi insitut dan universitas yang memungkinkan dibukanya program studi ilmu-ilmu umum.

Peluang pengkajian Ilmu Hubungan Internasional berdasar perspektif Islam tidak hanya terbuka lebar lantaran menjamurnya pembukaan program studi tersebut, namun juga ditopang dengan semakin mengemukanya paradigma akademik berbasis perspektif Islam dalam pengkajian ilmu-ilmu umum (acquired sciences) di perguruan tinggi keagamaan Islam. Paradigma akademik tersebut berintikan pada semangat untuk mendialogkan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum yang selama ini telah tersekularkan akibat pengaruh tradisi intelektual Barat. Paradigma akademik tersebut lantas diterjemahkan dengan berbagai terminologi, seperti: integrasi keilmuan, keislaman dan keindonesiaan (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); paradigma integrasi (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang); pengintegrasian ilmu keislaman, sains, teknologi dan seni (UIN Ar-Raniry Aceh); integrated twin-towers (UIN Sunan Ampel Surabaya); paradigma islamisasi ilmu pengetahuan (UNIDA Ponorogo); hingga pada pengembangan ilmu pengetahuan berbasis nilai Islam yang lebih spesifik, yakni Islam ahlussunnah waljamaah (Universitas Wahid Hasyim Semarang).

Tren aplikasi paradigma akademik yang berupaya menyatukan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum seperti itu bukanlah sebatas fenomena lokal Indonesia. Tren paradigmatik tersebut bahkan sudah menjadi malaise global di dunia pendidikan Islam saat ini. Enam konferensi bertaraf internasional telah diselenggarakan untuk membahas aplikasi perspektif Islam dalam ilmu pengetahuan modern. Diawali dari penyelenggaraan kongres di Saudi Arabia pada tahun 1977, kemudian di Bangladesh pada tahun 1981, di Indonesia pada tahun 1982, di Mesir pada tahun 1987, dan di Afrika Selatan pada tahun 1996 (Dangor, 2005, hlm. 526). Selepas enam konferensi tersebut, upaya untuk meracik formula terbaik dalam mendialogkan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman tetap terus dilakukan oleh berbagai kalangan. Peristiwa penting yang cukup terbaru dalam hal ini terjadi pada tanggal 23 hingga 25 Agustus 2013 yang lalu dengan diselenggarakannya Kongres Dunia Pertama Perihal Integrasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Umum (1st World Congress On Integration And Islamicisation Of Acquired Human Knowledge) di Universitas Islam Antarbangsa Kuala Lumpur Malaysia (Noon, 2013).

Kajian Ilmu Hubungan Internasional dalam perspektif Islam di Indonesia dengan demikian memiliki peluang dan momentum kebangkitan pada saat ini, yakni ketika terjadi gelombang alih status perguruan tinggi keagamaan Islam dan meningkatnya tren paradigma penyatuan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum. Tawaran perspektif Islam dalam pengkajian ilmu-ilmu umum juga bukan merupakan hal yang baru atau fenomena lokal Indonesia. Upaya mendialogkan ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman adalah fenomena global dalam dunia pendidikan Islam kontemporer sehingga sudah selayaknya upaya tersebut juga dilakukan terhadap disiplin Ilmu Hubungan Internasional.

Kesimpulan

Kajian mengenai hubungan antar bangsa bukanlah suatu hal yang baru dalam tradisi akademik di dunia Islam. Pada kenyataannya, kajian mengenai hubungan antar bangsa telah menjadi disiplin ilmu pengetahuan resmi di dunia Islam pada awal pertengahan abad kedua Hijriah dengan nama Siyar.

Perspektif Islam dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional memiliki landasan dan cara berpikir khas yang berbeda dari tradisi berpikir perspektif Barat. Secara ontologis, perspektif Islam meyakini bahwa realitas dapat berwujud fisik dan metafisik. Secara epistemologis, perspektif Islam meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu pengetahuan yang sangat penting disamping akal, kalbu serta indera. Adapun secara aksiologis, perspektif Islam menganggap bahwa ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai. Ilmu pengetahuan harus dimanfaatkan sesuai dengan tujuan hakiki keberadaan manusia di dunia ini. Kemanfaatan suatu kajian ilmiah bukan hanya dilihat secara akademik dan praktis, namun juga harus dapat ditinjau secara religius, yakni kemanfaatan untuk semakin mendekatkan diri seorang manusia kepada Sang Pencipta.

Artikel ini telah menunjukkan bagaimana perspektif Islam diaplikasikan dalam kajian hubungan antar bangsa semenjak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hingga para cendekiawan Muslim dan ulama ahli fikih masa kini. Bahkan dalam konteks Indonesia, aplikasi kajian hubungan internasional dengan menggunakan perspektif Islam telah memberi manfaat yang sangat signifikan dalam mengantarkan kemerdekaan bangsa melalui konkretisasi konsep jihad melawan penjajah.

Tren alih status perguruan tinggi keagamaan Islam pada akhir periode kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka pintu bagi kebangkitan penerapan perspektif Islam dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia. Hal ini tidaklah terlampau berlebihan mengingat perspektif Islam dalam kajian hubungan antar bangsa telah memiliki sejarah, tradisi, dan landasan filosofis tersendiri. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya yang relevan mengemuka tidak lagi di seputar apakah kajian mengenai perspektif Islam dalam disiplin Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia ada, layak, dan mungkin dilakukan, melainkan berganti menjadi sudah seberapa jauh kajian tersebut dilakukan oleh para penstudi Ilmu Hubungan Internasional di Indonesia.

Daftar Referensi

Buku dan Jurnal

Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, terj. Masturi Irham. (2011). Mukaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Abu Sulayman, ‘Abdul Hamid A. (1993). Towards an Islamic Theory of International Relations: New Directions for Methodology and Thought.  Virginia: the International Institute of Islamic Thought.

Abu Zahrah, Muhammad. (1995). Al-‘Alaqah Ad-Dauliyyah Fil Islam. Madinah An-Nasr: Darul Fikr al-‘Arabi.

Acharya, Amitav dan Barry Buzan (ed.). (2010). Non-Western International Relations Theory: Perspective on and beyond Asia. New York: Routledge.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. (2001). Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: Institut Antarabangsa Pemikiran dan Tamadun Islam (ISTAC).

Al-Qur’an dan Terjemahnya. Terj. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an. (2001). Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at Mush-haf.

Al-Shaybani, Muhammad ibn al-Hasan, terj. Mahmood Ahmad Ghazi. (1998). The Shorter Book on Muslim International Law. Islamabad: Interntional Research Institute International Islamic University Pakistan.

Al-Umuri, Akram Dhiya’, terj. Farid Qurusy et. al. (2010). Shahih Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.

Burchill, Scott, et. al. (2005). Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan.

Kania, Dinar Dewi. (2013) “Objek Ilmu dan Sumber-sumber Ilmu.” Dalam Adian Husaini et. al., Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani.

Kuhn, Thomas S. (1996). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago.

Noon, Hazizan Md. (2013). Conference Reports: the 1st World Congress on Integration and Islamicisation of Acquired Human Knowledge (FWCII 2013). Intellectual Discourse, 21:2, 263-266.

Daring

Arthashastra. (16 Desember 2015). Diambil dari https://en.wikipedia.org/wiki/Arthashastra

BA International Politics. (16 Desember 2015). Diakses dari http://courses.aber.ac.uk/undergraduate/international-politics-degree

Egypt. (16 Desember 2015). Diakses dari http://www.worldatlas.com/webimage/countrys/africa/egypt/egtimeln.htm

Hammurabi, The Code of Hammurabi King of Babylon about 2250 B.C. Autographed Text Transliteration Translation Glossary Index of Subjects Lists of Proper Names Signs Numerals Corrections and Erasures with Map Fronticepiece and Photograph of Text, oleh Robert Francis Harper (Chicago: University of Chicago Press, 1904). Diakses 12/16/2015 dari http://oll.libertyfund.org/titles/1276

Hasil Pencarian Akreditasi Program Studi. (19 Januari 2016). Diakses dari http://ban-pt.kemdiknas.go.id/hasil-pencarian.php

History of the Peloponnesian War. (16 Desember 2015). Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_Peloponnesian_War

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Versi Online. (31 Desember 2015). Gotong Royong. Diakses dari http://kbbi.web.id/gotong%20royong

Muhammad al-Shaybani. (20 Desember 2015). Diakses dari https://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_al-Shaybani

Naqada III. (16 Desember 2015). Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Naqada_III

Niam, Mukafi. (31 Desember 2015). Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Pertempuran 10 November 1945. Diakses dari http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,62913-lang,id-c,nasional-t,Detik+detik+Resolusi+Jihad+Nahdlatul+Ulama+dan+Pertempuran+10+November+1945-.phpx

Oemar Said Tjokroaminoto. (31 Desember 2015).  Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Oemar_Said_Tjokroaminoto

Pancasila. (31 Desember 2015).  Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila#Sejarah_Perumusan

Philips, Bilal. (14 November 2014). “Theory: Secular and Religious Knowledge.” [YouTube]. Lesson Plan Islamization – Session 1. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=0_oehna6rKQ

Rumusan-rumusan Pancasila. (31 Desember 2015).  Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila#cite_note-7

The Art of War. (16 Desember 2015). Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/The_Art_of_War

Wamenag: Ilmuwan Muslim Jangan Cuma Duduk di Masjid Sambil Pelihara Jenggot. (8 Januari 2016). Diakses dari http://regional.kompas.com/read/2014/09/17/15443531/Wamenag.Ilmuwan.Muslim.Jangan.Cuma.Duduk.di.Masjid.Sambil.Pelihara.Jenggot

4-digit UNESCO Nomenclature. (16 Desember 2015). Diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/4-digit_UNESCO_Nomenclature

 

Artikel telah dimuat dalam “Dauliyah: Journal of Islam and International Affairs” diterbitkan oleh Department of International Relations Faculty of Humanities Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Vol. 1, No. 2, Juli 2016.

Muhammad Qobidl ‘Ainul Arif, S.IP., M.A. adalah staf edukatif pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Penulis buku “Politik Islamophobia Eropa” (Deepublish, 2015) ini bisa disapa melalui korespondensi e-mail dengan alamat: m.qobid@uinsa.ac.id

Leave a Reply