[box] Penulis: Ibnu Burdah (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Editor: Koran Jawapos [/box]
MAKKAH dan Madinah sudah cukup lama menjadi target teror ISIS (Negara Islam di Iraq dan Syria). Melalui situs resminya, Dabiq dan A’maq, negara teror itu sudah lama mengancam meruntuhkan Kakbah, tempat paling suci bagi umat Islam sedunia.
Dulu ancaman tersebut dipandang sebagai isapan jempol belaka. Tak banyak yang hirau. Sebab, kelompok itu memang berupaya menghancurkan semua: manusia dan peradaban. Dulu kawasan timur Saudi, khususnya masjid-masjid Syiah, yang terus jadi sasaran teror. Senin pekan lalu (4/7) misalnya, yang terjadi di Qatif, bagian timur Saudi.
Tapi, sekitar setahun belakangan, target ancaman ISIS meluas. Hijaz, wilayah tengah Saudi bagian barat, juga diincar. Hijaz adalah nama tradisional daerah yang sudah cukup maju sejak sebelum Islam dengan moda produksi perdagangan. Daerah tersebut secara tipologi berbeda dengan kebanyakan wilayah Saudi lainnya. Hijaz saat ini meliputi kawasan Makkah, Madinah, Ta’if, dan sekitarnya.
Sebelumnya beberapa aksi teror telah digencarkan sel-sel ISIS di Hijaz. Tapi masih di luar Kota Suci Makkah dan Madinah. Atau persisnya di Ta’if. Dari penangkapan terhadap perencana bom Ta’if itulah, diduga ada sel-sel ISIS yang sedang menjalankan skenario gila untuk meledakkan Kakbah. Kendati ancaman tersebut sudah lama jadi konsumsi media Timur Tengah.
Dan Senin pekan lalu, aksi bom bunuh diri benar-benar menyasar kota suci, tepatnya di dekat Masjid Nabawi, Madinah. Meski membawa korban empat aparat keamanan, harus dikatakan ”beruntung” bom itu meledak di tempat parkir mobil yang lokasinya cukup terpisah dari kerumunan massa.
Sebab, rencana aksi tersebut sepertinya akan menyasar kerumunan jamaah atau bahkan makam Rasulullah di Masjid Nabawi. Namun, sebelum terlaksana, aksi itu sudah dicurigai petugas keamanan sehingga bom diledakkan di tempat parkir.
Sulit dibayangkan apa yang terjadi jika bom semacam itu benar-benar meledak di tengah-tengah massa di kompleks Masjid Nabawi. Jumlah korban dan dampaknya pastilah sangat besar dan luas. Bukan hanya terhadap Kerajaan Saudi, tetapi juga dunia Islam secara umum.
Sel-sel ISIS tak akan peduli dengan orang yang sedang melakukan ibadah salat atau puasa, sebagaimana juga yang mereka lakukan terhadap kerumunan massa yang hendak makan sahur di salah satu kompleks pertokoan di Baghdad, Iraq. Mereka juga tak peduli dengan puasa dan Hari Raya Idul Fitri, saat umat Islam bersukacita.
Lalu, mengapa ISIS nekat melakukan aksi teror terhadap Kota Suci Makkah atau Madinah? Bukankah setidaknya mereka telah mengklaim sebagai ”Negara Islam” (Ad Daulah Al Islamiyyah) di bawah pimpinan seorang khalifah yang tentu akan melindungi tempat-tempat suci umat Islam?
Pertama, bagi mereka, Makkah dan Madinah tak lagi mencerminkan keislaman. Dua kota suci itu, di bawah Kerajaan Arab Saudi, sudah berubah jauh. Bahkan, Kakbah dan Hajar Aswad seolah sudah menjadi situs kemusyrikan, tak ubahnya tempat penyembahan berhala. Maka, semua itu harus dikoreksi. Dan jalan untuk itu adalah menghancurkannya.
Kedua, Makkah dan Madinah, khususnya Kakbah, adalah tempat yang sangat strategis dan menjadi perhatian umat Islam seluruh dunia. Aksi mereka terhadap Kakbah dipastikan akan menarik perhatian seluruh umat Islam.
Kakbah sangat strategis sebagai media untuk mengirimkan pesan di tengah keterdesakan mereka. Bahwa mereka masih ada, masih mampu berbuat banyak untuk memberikan ancaman kepada siapa pun. Dalam konteks ini, Kakbah sama saja dengan Pentagon atau Gedung Putih yang punya potensi menarik perhatian sebanyak-banyaknya audiens.
Ketiga, Makkah, Kakbah khususnya, memiliki nilai lebih dari sekadar tempat strategis yang berpotensi jadi pusat perhatian. Mereka sepertinya juga mulai menyasar tempat suci sebagai simbol Kerajaan Saudi.
Sudah lama beberapa pimpinan ISIS memang mengancam Saudi. Mereka mengancam mengobarkan revolusi di Saudi. Kata revolusi jarang dipakai ISIS, tetapi dalam konteks Saudi mereka menggunakannya.
Sebab, revolusi rakyat ala Arab Springs memang hal yang paling ditakutkan rezim kerajaan tersebut. Sebagaimana maklum, persoalan aspirasi politik yang tersumbat, kelas sosial, serta diskriminasi ekonomi dan hukum menjadi isu yang sangat mengganggu rezim Saudi saat ini.
Kebetulan, persepsi dan dukungan masyarakat Saudi terhadap kelompok brutal itu cukup besar. Bahkan, Saudi adalah negara kedua yang paling banyak menyuplai kombatan bagi ISIS. Karena itu, potensi serangan terhadap Saudi, termasuk dua kota sucinya, sangatlah besar.
Memperhatikan intensitas teror di Ta’if, dekat Makkah, Qatif, Jeddah, dan Madinah baru-baru ini, tampak sekali ISIS menjadikan Kerajaan Saudi sebagai sasaran penting saat ini. Itu merupakan balasan atas keterlibatan Saudi dalam koalisi menghancurkan ISIS.
Apalagi, Al-Ashiri, komandan operasi Ashifatul Hazm, pimpinan Saudi, Februari lalu menyatakan bahwa kerajaan tersebut siap menggelar pasukan darat di Syria untuk berperang melawan ISIS. Itu jelas membuat ISIS yang sudah sedemikian terdesak marah besar.
Sebab, selama ini persoalan perang terhadap ISIS terletak pada keterbatasan pasukan darat dengan persenjataan memadai guna menopang serangan udara internasional. Dan koalisi Teluk pimpinan Saudi justru menyatakan kesiapan untuk menggeber kekuatan daratnya menghadapi ISIS. Itu sungguh mengejutkan banyak pihak, termasuk ISIS dan NATO.
Saat ini operasi darat Saudi belum dimulai. Bahkan, belum ada tanda-tanda usulan itu benar-benar serius. Tetapi, balasan dari sel-sel ISIS sudah sedemikian intensif. Padahal, mereka sudah sangat terdesak di Iraq dan Syria, teritorial utama mereka.
Bahkan, survival mereka sepertinya sudah berada di ujung tanduk. Barangkali keterdesakan itu justru membuat mereka melakukan ”jurus mabok” untuk menyerang siapa saja, dengan cara apa saja, dan di mana saja. Tak terkecuali di Indonesia. (*)
*dimuat di Koran Jawapos, Selasa 12 Juli 2016
[author] [author_image timthumb=’on’]http://insiera.org/wp-content/uploads/2016/05/Ibn-Burdah.jpg[/author_image] [author_info]Born to a traditional Muslim family, Ibnu Burdah grew up as a moderate Muslim who committed to the humanitarian values. His major interests are in the world peace and harmonious co-existence among religious (and non-religious) believers. He is a professional scholar in Arabic, Islamic Studies, Middle Eastern and Muslim World Policies. He is now a Senior Lecturer at Sunan Kalijaga State Islamic University with substantial experiences on teaching Arabic World Studies (2005 – present), Political Islam (2008 – present), History and Cultures of Islam (2008 – present), Study of Religions (2005-2009), Arabic to IndonesianTranslation (2001 – present), and Arabic (1999-2003).[/author_info] [/author]