Angin Revolusi Islam Suriah Berhembus ke Barat

oleh Hasbi Aswar

Sejak pengambilahan damaskus pada 8 Desember 2024 lalu, pemerintahan transisi suriah saat ini telah menunjukkan sikak inklusif untuk bekerjasama dengan berbagai negara khususnya negara – negara barat untuk membangun Suriah masa depan. Revolusi Islam yang diperjuangkan oleh para mujahid dari HTS bersama koalisi mereka pada akhirnya  memilih untuk kepentingan pragmatis lebih dari kepentingan idealis atau ideologis. 

Setelah lebih dari sepuluh tahun berperang untuk menggulingkan pemerintahan otoriter Assad akhirnya rakyat Suriah dapat merasakan buah dari perjuangan mereka. Mereka punya harapan besar, setelah Assad lengser, Suriah dipimpin oleh rezim yang menghargai hak – hak mereka, melindungi dan menjamin kebutuhan – kebutuhan mereka.

Di sisi yang lain, Sebagian kalangan berharap revolusi Suriah dapat juga berkontribusi besar terhadap perjuangan perubahan yang lain di Timur Tengah termasuk dalam mendukung perlawanan di Palestina melawan Zionis Israel.

Meski demikian, manuver politik serta pernyataan – pernyataan Ahmad al-Shara atau Abu Muhammad al-Jaulani menunjukkan sikap yang berbeda. Meski memiliki latar Islamis – Jihadis, al-Shara terlihat lebih ingin fokus membangun Suriah pasca perang dengan bersedia bekerjasama dengan berbagai pihak baik di Negara tetangganya sesama Arab, termasuk Turki, Mesir dan juga negara – negara Eropa, Jerman, Perancis, Inggris, Ukraina termasuk juga Amerika Serikat.

Melihat respon antusias Amerika, bersama sekutunya di Eropa maupun di Timur Tengah terhadap pemerintahan transisi ini, indikasi menjadi semakin jelas bahwa revolusi Suriah pasca Assad lebih condong dibawah ke barat.

Ini dapat dipahami melihat baik Rusia maupun Iran terlihat semakin tersudutkan di era transisi ini. Para pejabat Iran juga mengakui kalahnya Iran di Suriah. Rusia juga sama, menjadi semakin tersudutkan.

Sikap pemimpin HTS, Hay`at Tahrir al-Sham, yang berubah menjadi akomodatif bukanlah terjadi begitu saja. Walaupun memiliki riwayat sebagai pimpinan Jabhah an-Nusrah (afiliasi al-Qaeda), al-Shara ini sejak tahun 2016 telah menunjukkan transformasi dari visi ideologisnya dari jihad global ke jihad domestik yakni fokus untuk memerangi Assad, menyingkirkan pengaruh Iran, dan mendirikan kekuasaan efektif di Suriah.

Perubahan visi ini yang memantik Turki untuk berupaya mendekat ke HTS dan memediasi berbagai Kerjasama dengan kelompok – kelompok perlawanan yang di back up oleh Turki seperti Syrian National Army (Sebelumnya Bernama Free Syrian Army) dan National Liberation Front (NLF).

Kerjasama dengan Turki membuat posisi HTS bersama kelompok perlawanan lainnya semakin kuat khususnya di wilayah Idlib, bagian Utara Suriah. Turki pada akhirnya menjadi jembatan untuk berkomunikasi baik dengan Amerika Serikat, maupun dengan Rusia.

Turki tidak sekedar bekerjasama dengan HTS tapi juga bekerja keras untuk memastikan HTS tetap dengan sikap moderatnya dan dapat menjadi sarana untuk meredam kelompok – kelompok Islamis – jihadis lain yang lebih ekstrem atau radikal baik yang terafiliasi dengan al-Qaeda maupun ISIS.

Sikap HTS yang terbuka inilah yang dibaca oleh baik AS maupun Israel, sehingga saat terjadi pasca pengambilalihan Damaskus, tidak ada konfrontasi sama sekali yang terjadi secara langsung antara HTS dengan AS atau HTS dengan Israel. Walaupun pada saat yang sama Israel dan AS melancarkan berbagai serangan ke beberapa fasilitas di Suriah.

AS dan Israel kelihatannya berharap bahwa sikap akomodatif HTS yang ditunjukkan secara konsisten beberapa tahun terakhir dapat menjadi pegangan untuk membuka komunikasi sehat dengan HTS atau rezim baru Suriah.

Sementara itu, serangan – serangan militer yang AS dan Israel lakukan tidak lebih dari upaya diplomasi koersif untuk menekan dan mengancam pemerintahan baru agar mau berkompromi terhadap kepentingan mereka di Suriah.

Faktor lain yang penting yang menyebabkan melunaknya HTS adalah ide tentang kepentingan mendesak Suriah yakni isu kemanusiaan dan kondisi ekonomi yang terjadi. Dalam berbagai kesempatan al-Shara selalu menyampaikan kondisi internal Suriah yang buruk dan jutaan warga yang butuh uluran tangan. Suriah menurutnya butuh Pembangunan kembali dan stabilitas.   Kondisi inilah yang membuat pemerintahan transisi ini secara aktif melakukan berbagai pertemuan dengan berbagai negara. Dengan misi, membangun kembali Suriah.

Revolusi Islam Suriah ke arah lebih moderat atau ke barat, akan menguntungkan Suriah dan rakyatnya di satu sisi namun di sisi lain akan menjadi api dalam sekam yang bisa menimbulkan pergolakan lagi.

Menjadi moderat membuat Suriah akan lebih aman dari berbagai rekayasa politik AS dan Israel, serta bantuan – bantuan kemanusiaan dan investasi akan membanjiri Suriah untuk membangun kembali Suriah pasca perang.

Namun, menjadi moderat – pro barat membawa ongkos besar juga dengan munculnya kekecewaan dan kemarahan dari berbagai faksi Jihad yang telah merasa berinvestasi dalam penggulingan Assad. Mereka pasti punya harapan rezim baru, menjadi rezim yang Islami yang tidak menggantungkan diri pada negara – negara besar dan tidak kompromi terhadap Zionis. Tapi, jika harapan ini tidak terakomodasi, mereka mungkin akan mulai melakukan upaya revolusi lagi dan perang saudara mungkin akan terjadi lagi.

Ini menjadi tantangan paling besar rezim baru ke depan. Keberlanjutan Suriah sangat bergantung pada tepatnya pilihan pemimpin revolusi baru itu.


Tulisan ini sebelumnya telah dipublikasian sebagai artikel newsletter di website igss.uii.ac.id edisi Januari 2025.

Foto: liputan6.com

Leave a Reply